G30S/PK1 dalam Novel Sri Sumarah dan Bawuk

 

 

Kudeta G30S/PKI dalam Kisah Sri Sumarah dan Bawuk

Oleh: Malik Qilam 

Karya sastra merupakan hasil dari pengamatan pengarang terhadap dunia nyata, dengan demikian sastra menyajikan kehidupan yang terdiri dari kenyataan sosial. Menurut Plato sendiri sastra sebagai sebuah seni, hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang tampak.[1] Sastra tidak semata-mata meniru dunia nyata, oleh Aristoteles dikatakan bahwa seni merupakan ekspresi jiwa dengan mengolah keadaan yang ada di dunia nyata.  Oleh karena itu, lebih jelas lagi kalau dikatakan bahwa sastra mencerminkan dan mengekspresikan hidup.[2]

Pandangan yang melihat sastra representasi realitas tersebut dikenal sebagai mimetik atau mimesis.  Karena sastra bersumber dari realitas maka dengan pendekatan mimetik hubungan antara karya sastra dan dunia nyata dapat dijelaskan. Indonesia sebagai negara multikultural memiliki kehidupan sosial yang beragam, sehingga banyak karya sastra Indonesia yang tidak dapat dipungkiri memuat unsur-unsur realitasnya. Salah satu karya sastra yang memiliki hubungan erat dengan realitas ialah Sri Sumarah dan Bawuk karya Umar Kayam.

Umar Kayam merupakan penulis ternama di Indonesia yang memiliki tiga sebutan sekaligus: sastrawan, budayawan, dan sosiolog.[3] Umar Kayam pernah menjadi dosen, Direktur beragam institusi, Ketua Dewan Kesenian Jakarta, dan Guru Besar Fakultas Sastra UGM. Umar Kayam dikenal sebagai penulis prosa dalam kesusastraan Indonesia, salah satu karyanya ialah novelet Sri Sumarah dan Bawuk (1975). Sri Sumarah dan Bawuk adalah karyanya yang dekat dengan realitas karena menceritakan kehidupan Indonesia pada masa pemberontakan PKI yang dikenal sebagai G30S/PKI.

G30S/PKI merupakan sebutan dari peristiwa pemberontakan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 30 September 1965, sebutan lainnya Gestapu dan Gestok. Menurut sejarah PKI pada tahun 1965 melancarkan kudeta untuk menguasai Indonesia dan membangun negara komunis. Pada kudeta tersebut PKI berencana membunuh tujuh Jenderal Indonesia dan menggulingkan pemerintahan, namun sayang kudeta mereka digagalkan oleh TNI-AD yang dipimpin oleh Soeharto. Setelah kegagalan tersebut, seluruh anggota PKI dianggap sebagai penghianat dan diburu untuk dihukum pemerintah.

 
 
            Sri Sumarah dan Bawuk menceritakan tentang dua perempuan yang mengalami perubahan hidup pada tahun 1965 setelah terjadinya usaha kudeta PKI.  Sri Sumarah dan Bawuk merupakan perempuan priayai yang bagian dari keluarganya merupakan anggota dari PKI, karena pemburuan yang dilakukan oleh pemerintah merekapun terpisah dari keluarganya. Sri Sumarah terpaksa menjadi seorang tukang pijit untuk menyambung hidup, dan Bawuk terpaksa menjadi buron demi mencari suaminya yang hilang. Melalui pendekatan mimetik –seperti yang telah dijelaskan di atas, tulisan ini akan berusaha melihat hubungan realitas dari kisah Sri Sumarah dan Bawuk.

Kedekatan novelet Sri Sumarah dan Bawuk (yang selanjutnya disingkat SSdB)  dengan realitas peristiwa G30S/PKI ditandai oleh kemunculan nama-nama terkait PKI dan bagian-bagian dari peristiwa dalam percobaan kudeta PKI.

Nama-nama terkait PKI

PKI, CGMI, Gerwani, Lekra, dan Aidit adalah nama-nama terkait PKI yang muncul di dalam SSdB. Kelompok-kelompok tersebut dikisahkan tengah melakukan diskusi-diskusi pemberontakan[4], dan persiapan perang[5]. Dalam dunia nyata PKI adalah nama dari Partai Komunis Indonesia yang dikatakan sebagai dalam kudeta gestapu. CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), dan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) merupakan organisas-organisasi yang terkait dan atau berinduk pada Partai Komunis Indonesia.

Sosok Aidit di dalam kisah SSdB mirip atau bahkan merujuk pada Dipa Nusantara Aidit (D.N. Aidit), tokoh Partai Komunis Indonesia. Nama-nama tersebut menunjukan hubungan yang erat antara SSdB dengan Realitas, yang mana dapat dikatakan bahwa PKI, CGMI, Gerwani, Lekra, dan Aidi merupakan tiruan atau merujuk dari realitas.

 Peristiwa G30S/PKI

Bagi siapapun yang mengetahui atau setidaknya pernah mendengar perihal G30S/PKI tentu akan merasa familiar ketika membaca novelet ini, SSdB. Pada satu bagian dalam novelet SSdB terdapat dialog yang membicarakan tentang pemberontakan dan pembunuhan jenderal. “Tidak Cuma berontak. Teman-temannya yang di Jakarta telah membunuh jenderal-jenderal.”[6] Pada kutipan tersebut tentu saja sangat sesuai jika dibandingkan dengan peristiwa G30S/PKI yang tercatat dalam Sejarah. PKI melakukan pemberontakan dan membunuh Jenderal-Jenderal, membuang tubuh mereka di Lubang Buaya.

Pada bagian lain terdapat kutipan yang lebih jelas terkait peristiwa G30S/PKI. Mereka mendengar tentang Aidit yang ada di sekitar Solo, dan mereka mendengar tentang sikap Sukarno terhadap Gestapu yang disebutnya Gestok.[7] Pada kutipan tersebut jelas tertulis Gestapu dan Gestok, yang memiliki arti Gerakan September Tiga Puluh dan Gerakan Satu Oktober. Sedangkan tokoh Aidit dan Sukarno yang disebutkan merujuk pada tokoh PKI D.N. Aidit dan Ir. Soekarno Presiden Pertama RI, yang juga terlibat dalam peristiwa G30S/PKI. Lebih jelas lagi dalam novelette SSdB terdapat kutipan waktu yang merujuk persis dengan realitas peristiwa G30S/PKI. “…pada akhir bulan Oktober 1965…[8]

Berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa kisah dalam novelet SSdB merupakan kisah yang terinspirasi oleh peristiwa nyata pemberontakan PKI pada 30 September 1965. Umar Kayam yang pada tahun tersebut tidak berada di Indonesia, dalam kisah ini ingin menunjukan peristiwa G30S/PKI melalui perspektif yang berbeda. Perspektif orang-orang yang kehilangan keluarganya karena terlibat Gestapu, orang-orang yang terkena imbas dari kekacauan dan pemberontakan –baik dari PKI maupun dari Pemerintah. Dengan demikian Sri Sumarah dan Bawuk menceritakan kesedihan dari keluarga anggota PKI yang menghilang.



[1] A. Teeuw, Sastera dan Ilmu Sastera, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2003), h. 181.

[2] Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia, 2016), h. 99.

[3] Ensiklopedia Sastra Indonesia, Umar Kayam (1932—2002), (ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/ umar_kayam)

[4] Umar Kayam, Sri Sumarah dan Bawuk, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1975), h. 41—42.

 [5] Umar Kayam, Sri Sumarah dan Bawuk, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1975), h. 102—105.

[6] Ibid., h. 44.

[7] Ibid., h. 103.

[8] Ibid., h. 98.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ondel-Ondel dalam Dua Garis Biru (2019)

SURVEI KKN

KEHILANGAN