I Think Too Much

Gua adalah seorang pemikir, terdengar keren bukan? "Bukan".

https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/06/25/78260-meme-overthinking.jpg

Ini bukan zaman Yunani, Romawi, kejayaan Islam, Renaisans atau Revolusi, di mana ada banyak pemikir, filsuf, ilmuwan, ahli politik, atau tokoh agama yang memberikan banyak sumbangsih pemikiran, ideologi, rumus, atau teori-teori kehidupan yang bermanfaat hingga dianut banyak orang sampai sekarang. Ini adalah zaman post-modern, zaman semua orang berpikir karena memang terlalu banyak yang dipikirkan. Zaman di mana nilai kebenaran digugat, dibandingkan, diuji, dan dicari apakah kebenaran itu adalah sebenar-benarnya kebenaran atau ternyata kebenaran yang selama ini kita percaya hanyalah kebenaran relatif. 

Post-Modern dengan karakteristiknya yang riuh (ledakan informasi, kebebasan berbicara/berpendapat, untuk menggugat maupun bersikukuh) pastinya mengombang-ambing kepribadian setiap orang. Terutama tiap-tiap orang yang dibesarkan dengan didikan-didikan saklek era sebelumnya yang masih kaku dan searah. Gua misalnya dibesarkan untuk tahu bahwa kebenaran itu ditafsirkan melalui adat-istiadat etika kesukuan dan hukum agama, ketika beranjak remaja hingga masuk kuliah menemukan beragam persoalan yang rasa-rasanya tidak kunjung bisa diselesaikan begitu saja dengan dua pedoman tadi. Persoalan apa itu?

Jawabannya persoalan apa saja.

Oke, kita tahu bahwa seharusnya persoalan apa saja bisa diselesaikan dengan etika maupun hukum agama, tapi ada fakta yang suka kita lupa yaitu bahwa tidak semua orang menganut etika dan hukum agama yang sama dengan kita. Pada titik itulah ada hukum negara yang seharusnya bisa memayungi perbedaan-perbedaan antara para warganya, bukan?

Seharusnya iya, hingga teknologi men-super-duper-percepatan globalisasi sehingga hukum negara pun tak cukup mampu memayungi warga-warganya. Hah, gimana tuh?

Hmm, sebenernya gua mau curhat soal diri gua yang terlalu banyak mikir tapi kenapa jadi belok ke sana-sini ya. Oke, kita lanjut sedikit deh, semoga gua gak salah.

Globalisasi berpengaruh besar pada persebaran informasi, termasuk di dalamnya ajaran, pemikiran, budaya, dan sudut pandang baru dalam menghadapi sesuatu. Gua yang awalnya hanya tahu bahwa etika Jawa dan Hukum Islam (+hukum negara termasuk di dalamnya pancasila) untuk bertahan hidup, perlahan memahami bahwa ada konsep-konsep seperti humanisme dan universalisme, untuk menghadapi sesuatu (persoalan). Ketika gua menghadapi orang suku lain yang cenderung jujur dan terbuka dengan gayanya yang lugas dan cuek (yang mana berkebalikan dengan gua yang cenderung tertutup, pelan-pelan mengikuti dan menunggu momennya sendiri), nyatanya gua suka terseok-seok kalau mengikuti terus apa mau orang ini. Orang ini pun dengan gayanya sendiri terkesan keras dan garang ternyata tidak seperti itu, gua gak bisa lagi untuk terus memakai pakem yang gua anut. Akhirnya gua pun ikut bermain dengan gayanya, memberanikan diri untuk bilang tidak, bebricara dengan caranya, dan akhirnya membangun jembatan pemahaman baru antara gua dan dia.

Itu baru beda suku, gimana kalau beda agama, apalagi sekarang kita bertemu orang yang berbeda banget apapun (kebangsaan, ideologi, atau pemikirannya). Gua pernah bertemu orang yang sangat kuat agamanya dan mengharamkan banyak hal, ketemu orang yang sangat tidak percaya agama, orang yang suka lawan jenis, dan orang yang suka sesama jenis dan aktif menyebarkannya, hingga orang yang merasa berada di tempat yang salah sehingga jadi menyalahkan hal lain di luar dirinya.

Kuncinya adalah kerelaan untuk menyebrang ke sisi lain pemahaman kita untuk melihat pemahaman orang lain dengan lebih jelas dan logis. Namun gimana kalau ternyata, cuma kita yang rela menyeberang untuk memahami orang lain? Sementara orang lain tetap masa bodo dengan pemahaman kita terus-menerus. Di situlah gua terjebak dalam pikiran gua sendiri.

Gua yang awalnya berpikir untuk memikirkan diri sendiri, kemudian bergerak menjadi memikirkan orang lain dengan asumsi bahwa itu juga akan bermuara pada diri gua sendiri. Pastinya itu adalah hal yang salah. Tidak ada gunanya memikirkan orang lain, terutama mereka yang gak mikirin kita, apalagi menganggap bahwa kepetingan dia sama pentingnya dengan kepentingan kita.

Pada akhirnya, overthinking should be over. Harus kuat-kuatan cuek, bilang apa yang mau kamu bilang aja, kejujuran itu cukup dan berhenti berasumsi sebelum asumsi itu menerkam pikiranmu sendiri. Gua rasa bukan cuma gua doang yang pernah, mau melakukan sesuatu, eh akhirnya gak jadi karena kelamaan mikir dan dimakan pikirannya sendiri. Terlalu banyak berpikir kadang-kadang hanya menyesatkan kita, membuat pikiran jadi bercabang. Sama kayak tulisan ini yang awalnya mau ngomong apa dan berakhir ngomongin apa. Apaan sih. Jeezzzz....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ondel-Ondel dalam Dua Garis Biru (2019)

SURVEI KKN

KEHILANGAN