Susah Tidur dan Gimana Cara Gua Menghadapi Semuanya

 


"Oh sepertinya mati itu jauh lebih indah" - Squidward

Pernah gak sih susah tidur? Susah, sesusah membayangkan betapa susahnya membayangkan susahnya gua untuk tidur.

Coba deh bayangin gua susah tidur.

...

Coba aja dulu bayangin.

...

Gimana tuh? Gua kalau susah tidur, kebayang gak?

 ...

Kebayang gak?

Masa gak kebayang?

Coba sekali lagi bayangin.

... 

...

Gimana, udah kebayang?

Atau susah ngebayanginnya?

        Nah, persis itu yang gua rasain. Ketika kita tau apa yang harus kita lakukan, misal ngebayangin tadi, kita mau ngebayangin, tapi kita gak bisa ngebayanginnnya, bahkan sekeras apapun kita coba untuk bayangin hal itu. Padahal kita tau apa yang mau dibayangin tapi kita gak punya klu untuk ngebayangin itu.

        Sama halnya seperti yang gua rasakan malam ini. Gua udah matiin lampu, gak bales chat orang (bahkan pacar sendiri), minum air putih yang banyak, udah gak ngerokok, ngelempar hape jauh-jauh, rebahan di kasur berjam-jam, bolak-balikin bantal, muter-muter ganti posisi, naik turun kasur untuk tiduran di lantai, sampai akhirnya gua bangkit nyalahin laptop dan mulai ngetik tulisan ini. Sedih banget gak bisa tidur, bahkan rasanya mau marah untuk sekadar alasan pengen bisa tidur aja. Dan makin menyedihkan rasanya, ketika elu bahkan harus sedih karena merasa sedih.

        Gua gak tau udah berapa lama gua gak bisa tidur, mungkin setahun sejak gua kerja di 2021 atau malah sudah dari 2020 ketika gua masih ngerjain skripsi. Saat ini mungkin gua sudah merasa berada di titik, ketika gua rebahan dikasur dengan kondisi lampu udah mati, dan gua berharap gua tidur dan gak usah bangun lagi sekalian. Oh, ya betul, gua selalu berharap dan membayangkan betapa mati akan mempermudah semuanya. Bahkan ironisnya cara berpikir itu gua dapat dari sebuah kartun, yaitu kartun Spongebob, ada satu episode yang gua lupa entah episode apa dan berapa, yaitu ketika Squidward yang lelah menjalani hidupnya berkata "Oh sepertinya mati itu jauh lebih indah".

        Percaya atau tidak kalimat itu terus mengendap di kepala gua bahkan sejak gua SMP. Like, WTF dude, anak SMP masalahnya apa sih sampe pengen meninggal? Haha. Gak tau ya, kadang-kadang gua hanya merasa bahwa hidup gua gak ada benernya sama sekali. Rasanya kosong dan gak ada bermakna bahkan bagi gua. Bahkan ketika masih ada orang yang berpikir bahwa, gua adalah sosok yang bisa diajak bicara, dimintai tolong, atau didengarkan ucapannya, tapi tetep aja itu semua gak ada artinya buat gua.

        Awalnya gua suka mengalihkan stress dan kusutnya pikiran di kepala dengan ngerokok. Rokoknya pun rokok kretek, gua mulai ngerokok dari SMP kelas 8, tapi gak candu dan sekadar ngelepas stress. Masuk 2019 ketika perkuliahan mulai gak jelas, dalam artian mulai semakin berat dan kita gak bisa lagi santai-santai atau minta tolong karena semua orang sudah mulai bergelut dengan masalahnya masing-masing, gua mulai aktif ngerokok. Gua inget waktu itu ada perempuan yang sebenarnya gua deket (atau pernah deket) sempet bilang kalau dia kecewa ngeliat gua ngerokok, habis itu dia pun menjauh.

        Kecewanya dia ke gua, mungkin juga sama dengan kecewanya gua ke dia. Kecewa karena dia berharap gua terlalu tinggi, menjadi orang yang mungkin putih bersih tanpa dosa, tanpa kebiasaan buruk, tanpa noda dan kejelekan bahkan sesepan rokok. Pada waktu itu gua gak bisa ngertiin bahwa dia gak tau betapa stressnya gua menghadapi masalah gua. Pun dia gak tahu bahwa rokok adalah satu-satunya cara gua ngelepas penat gua sendiri, kadang-kadang sambil bengong duduk di teras mushola jam 12 malam, sambil menyesap kretek dji sam soe, gua memandangi rokok itu sambil membayangkan: gua menghisap nyawa gua pelan-pelan dan berharap masalah itu hilang bersamaan. Dua, tiga tahun berlalu, berganti-ganti jenis rokok, merek, dan bentuk sampai akhirnya rokok gak bisa lagi mengobati rasa mumet, resah, dan kusut di kepala gua.

        Perlahan demi perlahan tidur semakin larut, dari susah tidur karena stress, sampai stress karena susah tidur. Pada akhirnya seperti tukar kepala aja, kalau pagi stress mikirin apa (kerjaan) dan malamnya stress mikirin apa (hidup). Stress dua puluh empat jam, tapi yaudah gak ada yang tau dan gak perlu ada yang tau, sementara orang-orang udah asik ngjustifikasi gua macam-macam. "Kalian boleh ngapain aja, ngomong apa aja, gua gak mau peduli. Apapun itu, toh sama aja gua tetap akan membenci kalian dan diri gua," biasanya gua begitu.

        Gua cuma males aja menambah beban isi kepala gua dengan mikirin apa kata orang, bahwa gua nganggur, bahwa gua kerjanya gak jelas, bahwa gua anak pertama, bahwa adik gua masih kecil, bahwa orang tua gua masih punya hutang yang kalau dulu suka dibecandain sama nyokap gua bahwa warisan gua nanti adalah hutang, bahwa gua harusnya udah nikah, bahwa gua harusnya udah bisa kasih momongan ke ibu gua yang setiap hari demen minjem bayi orang, bahwa pacar minta diseriusin, bahwa temen-temen gua udah pada mapan, bahwa dosen-dosen dekat gua nyuruh-nyuruh S2, bahwa bos tempat gua kerja banyak mau, bahwa klien-klien gua masih nunggak bayar desain sementara mereka flexing jalan-jalan dan nongkrong di tempat fancy, dan mungkin masih banyak bahwa lain.

        Gua gak bisa jelasin betapa susahnya untuk gak mikirin banyak hal, dan hanya fokus pada satu hal sementara yang lain juga ngamuk-ngamuk minta diprioritasin. Menempatkan segudang masalah di belakang kepala, sambil terus berjalan mendongak dengan keoptimisan palsu bahwa "gua bisa melewati ini semua".  Fuck it lah, "gua bisa", "gua bisa", "semangat", "semangat", adalah ucapan paling klise yang udah gua denger bermiliyar-miliyar kali dalam hidup gua. Gua juga tau gua pasti bisa, lu lempar gua ke hutan belantara tempat sarang cobra dan nyamuk malaria juga pasti bisa gua. Sakit dan luka udah kebal gua, diinjek-injek, dicaci dan dikhianati udah jadi kawan lama. Menghadapi masalah itu bukan hal yang berat, tetapi yang berat itu ketika kita dibuat merasa sendirian dalam menghadapi masalah.

        Gua gak butuh dikasihanin dan dikasih kata-kata penyemangat palsu. Semenjak bantuan dan uluran tangan jadi hal yang terlalu mewah untuk diminta, gua cuma butuh ditemenin dan dipantau dengan tenang. Gua gak pernah gak bantuin orang-orang terdekat gua, coba aja tanya, dan gua juga gak mau minta tolong balik. Gua sadar bahwa gua senaif itu untuk sekadar merasa dihargai dan diakui, tapi pada akhirnya apa juga artinya pengakuan, kan.

        Jadi gua masih belum bisa tidur, malah emosi gua meluap-luap waktu nulis ini. I hate to hate myself, but i deserve to hate myself as i derserve to be hated by myself. Benci dan cinta sama diri sendiri. Semua ini diawali dari gua yang mulai sadar bahwa gua gak punya tujuan hidup. Been living my entire life, obeying what people wanted me to do. Ya, gua merasa hidup gua bukan hidup gua, karena sejak awal selalu mengikuti apa kata orang lain. Bahwa ketika orangtua gua bilang A, maka A itu adalah satu-satunya hal yang benar, bahwa menurut agama gua harus B, maka B adalah kewajiban, bahwa ketika sanak keluarga berkomentar C maka gua harus mempertimbangkan, bahwa jika tetangga bilang D tentang gua maka gua akan membuat orangtua gua sakit hati. Bahwa gua gak boleh durhaka, bahwa gua harus mandiri, bahwa gua harus penuh sopan santun, bahwa gua harus serba bisa (emangnya gua cobra, banyak bisanya :P), bahwa gua harus kuat, dan masih banyak bahwa lainnya.

        Pada 2019 itu ternyata pada akhirnya gua harus masih harus nurutin apa kata orang, bahwa gua harus mengemban tanggung jawab ini hanya karena gak ada orang lain lagi yang bisa. Sampai sekarang masih terasa gak adil buat gua. Kemudian gua mulai melihat bahwa, judul skripsi gua datangnya bukan dari gua, ketika gua lulus nanti gua gak tau mau melakukan apa dan gua sangat gak mau untuk jadi guru, dan bahkan sejak pertama keinginan kuliah datangnya dari kemauan orang tua gua. It is so pathetic to think, that gua menyelahkan orang lain atas hidup gua, menempatkan gua pada posisi korban yang menyerah pada keadaan, sementara dalam lebih dari 20 tahun waktu tersebut gua selalu punya pilihan untuk bilang nggak dan melakukan hal sebaliknya, tapi gua memilih untuk terjebak pada penilaian orang lain atas diri gua. Pedih rasanya, ketika kita sudah berdarah-darah melewati sesuatu, tetapi pada akhirnya kita masih belum menemukan apa yang hilang dari diri kita.

        Setiap malam, sebelum tidur, ketika di atas kasur, berpikir besok akan seperti apa. Besok gua akan ngapain? Apakah besok semua akan baik-baik saja? Apakah besok gua masih bangun? O, sungguh gua harap gua gak perlu bangun lagi untuk menghawatirkan lusa akan seperti apa. Seandainya hidup ini seperti game, gua bisa mengulang lagi permainan gua dari awal, atau memilih checkpoint di mana gua bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan gua. Namun hidup itu linear dengan satu jalan lurus, mengejar hidup atau dikejar hidup.

        Pernah gak sih kangen sama air mata sendiri?

        Waktu kecil kalau hanya karena gak dianterin sama ayah, bisa langsung nangis.

        Kelewat kartun favorit nangis.

        Marah sama orang langsung mukul.

        Sayang sama orang langsung meluk.

        Eh, sekarang masalah tingkat multiverse aja gak bisa nangis meskipun pengen. Kelewat kesempatan hidup masih berusaha gapapa. Harga diri dijatuhin masih sabar. Cinta dan kangen harus ditahan cuma karena takut menyimpan perasaan ke orang yang salah. Mahal banget harga hidup.

    Sambil nungguin gua terlalu capek mikir sampe akhirnya ketiduran.

    Fin.






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ondel-Ondel dalam Dua Garis Biru (2019)

SURVEI KKN

KEHILANGAN