Profeminisme dalam Novel Kehilangan Mestika

 

 Profeminisme dalam Novel Kehilangan Mestika

 Oleh Malik Qilam

Kehilangan Mestika by Hamidah
Sumber Foto: Good Reads
goodreads.com/book/show/11406108-kehilangan-mestika


Kehilangan Mestika adalah sebuah novel yang bercerita tentang nasib dan duka seorang perempuan bernama Hamidah.  Kehilangan Mestika yang terbit pada tahun 1953 ditulis oleh Hamidah, Hamidah merupakan nama pena dari Fatimah Hasan Delais. Fatimah Hasan Delais adalah seorang perempuan kelahiran Bangka, Palembang yang berprofesi sebagai guru. Selain menulis Kehilangan Mestika, Fatimah juga aktif menulis puisi di majalah Pandji Pustaka dan Pudjangga Baru.[1]

Kehilangan Mestika menceritakan tentang perjalanan hidup Hamidah, seorang perempuan yang baru lulus sekolah Normal di Padang Panjang. Di rumah, Hamidah berbagi ilmu dengan warga desanya, hingga ia mendapat pekerjaan di Palembang. Sebelum merantau ke Palembang Hamidah dilamar oleh Ridhan, sahabat kecilnya. Sejak di Palembang hidup Hamidah penuh sengsara, Ridhan meninggal, Ayahnya meninggal, dan Ia dikirim ke Jakarta. Hamidah dijakarta dijodohkan dengan orang yang tak dicintainya, dan ketika cinta telah tumbuh mereka sudah berpisah. Akhirnya Hamidah kembali ke desanya meratapi hidupnya dengan penuh kesedihan dan penyesalan.

Hamidah menghadapi hidup yang demikian seorang diri. Hal tersebut menandakan bahwa Hamidah merupakan sosok perempuan yang kuat, bertolak belakang dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah. Kehadiran Hamidah sebagai tokoh utama yang kuat mengindikasikan adanya unsur feminis dalam novel Kehilangan Mestika. Berdasarkan tersebut tulisan ini berusaha mengulas kisah Hamidah dalam perspektif feminisme.

Feminisme merupakan sebuah ialah teori tentang persamaan anatara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan.[2] Penerapan perspektif feminisme dalam kajian sastra artinya berusaha mengidentifikasi segala hal yang berkaitan dengan upaya penyetaraan gender, praktik tersebut biasa disebut sebagai kritik feminis. Dalam tulisan ini penelitian akan dipusatkan pada kehadiran tokoh-tokoh profeminis. Tokoh profeminis menurut Sugihasuti ialah tokoh yang memperjuangkan emansipasi perempuan.[3] Oleh karena itu, penelitian ini akan mengulas tokoh-tokoh yang mendukung (dalam bentuk tindakan maupun bukan) kesetaraan gender, emansipasi, dan penghargaan terhadap kaum perempuan.

Tokoh-tokoh yang termasuk profeminis dalam novel Kehilangan Mestika antara lain Hamidah, Ayah, Ridhan, Anwar dan Idrus, serta Rusli. Mereka adalah tokoh-tokoh yang turut memperjuangkan  dan menghargai kedudukan perempuan sebagai manusia yang memiliki hak asasinya sendiri. Gambaran yang lebih mendalam terkait tokoh-tokoh profeminis tersebut akan disampaikan selanjutnya.

Hamidah

Hamidah merupakan tokoh utama profeminis dalam novel Khilangan Mestika. Ia adalah tokoh dominan yang menjadi ide utama dari cerita perjuangan perempuan ini. Ia memiliki watak yang kuat dan menjadi pusat perjuangan perempuan. Perjuangan emansipasi yang dilakukannya berada dalam sektor pendidikan, sosial, dan ekonomi.

Pendidikan

Setelah kupikir, terkenanglah olehku, bahwa orang di negeriku boleh dihitung yang pandai membaca dan menulis. Oleh sebab itu kutetapkan hatiku, akan mendirikan sebuah perguruan bagi anak-anak perempuan, untuk mengajar membaca, menulis, berhitung, bahasa Belanda sedikit-sedikit, begitu pula sekalian keperluan rumah tangga.[4]

Hamidah adalah sosok yang berusaha untuk mencerdaskan kaum perempuan di desanya. Kutipan di atas menunjukan semangat, keteguhan, dan kepedulian seorang Hamidah pada kaumnya.

Sosial

Aku meminta pertolongan kepada sahabat-sahabat dan akhirnya kami mengambil keputusan, mengadakan rapat umum tentang kesopanan Timur dan agama; sebab pada perasaan kami agamalah yang dapat mengembalikan mereka kepada kesempurnaan rohani.[5]

Hamidah adalah sosok yang peka dan tanggap terhadap permasalahan sosial di sekitarnya. Kutipan di atas menunjukan kecekatan, dan keterampilan perempuan sebagai seorang pemimpin.

Ekonomi

Untuk menambah pendapatan, aku bekerja pada sebuah perguruan partikelir.[6]

Hamidah adalah sosok yang peduli dan bertanggung jawab terhad kesejahteraan keluarganya. Kutipan di atas menunjukan bahwa perempuan adalah sosok yang bertanggung jawab dan tak malu untuk membantu laki-laki dalam mencukupi kebutuhan keluarga. Berdasarkan ketiga sektor tersebut, Hamidah merupakan representasi dari gerakan feminisme, yang menunjukan bahwa anggapan negatif laki-laki terhadap perempuan itu salah. Perempuan merupakan sosok yang kuat dan terampil serta bertanggung jawab, bahkan perempuan lebih unggul dalam kepedulian terhadap sesama dibandingkan laki-laki.

Ayah

Ayah Hamidah merupakan sosok lelaki bijak sana yang berpandangan terbuka terhadap kaum perempuan. Ia memberikan kesempatan bagi Hamidah untuk bersekolah dan memberikannya kebebasan untuk memilih melakukan pekerjaan.

Beliau menghendaki supaya aku tinggal di negeriku sendiri,berusaha memberikan pelajaran antara saudara-saudaraku, supaya mereka dapat menurut kemauan zaman.[7]

Pada kutipan di atas menunjukan bahwa Ayah merupakan sosok yang terbuka dengan perkembangan zaman, ia mengendaki agar orang-orang disekitarnya bisa merasakan pendidikan juga. Hal tersebut menunjukan bahwa perempuan adalah sosok yang bisa dipercaya dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab.

Tak pula jarang kedengaran oleh kami mereka memperkatakan bapakku, sebab selalu membawa aku menonton bioskop.[8]

Pada kutipan tersebut menggambarkan bahwa Ayah Hamidah adalah sosok yang tidak mengekang perempuan, justru sebaliknya ia memberikan kesempatan pada Hamidah untuk bergaul dan menikmati perkembangan zaman. Pada pandangan masyarakat Hamidah perempuan haruslah tinggal di rumah dan menunggu jodoh, perempuan dilarang untuk berplesiran. Dalam hal ini Ayah Hamidah adalah sosok yang memahami bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk hidup di dunia yang begitu luas ini, bukan mengurungnya seperti sebuah binatang atau menyimpannya seperti benda mati.

Permintaan mereka itu tentu tak kuturut, sebab pertama memang keinginanku hendak bekerja dan kedua bapakku tak berkeberatan.[9]

Kutipan tersebut mengisahkan Ayah yang mengizinkan Hamidah untuk bekerja di Palembang. Ayah dalam kutipan tersebut menandakan dirinya sebagai sosok yang terbuka dan menghargai hak-hak perempuan, dengan mengizinkan Hamidah merantau ke Palembang. Demikian Ayah Hamidah merupakan sosok yang berpikiran terbuka dan menghargai hak-hak perempuan.


Ridhan

“Sungguh mulia pikiranmu Dah! Sungguh engkau seorang yang tenang di dalam memberi pertimbangan.”[10]

Ridhan adalah tunangan Hamidah, sahabat sejak kecil. Ridhan adalah sosok pria yang menghargai perempuan dan perhatian terhadap perempuan. Ia bahkan berani melawan adat untuk membela Hamidah. “Memang begitu tetapi saya tak mau lagi memakai adat kita yang saya rasa tak patut, tek berguna.”[11] Hal tersebut yang membuat Hamidah menyukai sosok Ridhan.

Kupikir-pikir, benar pula perkataannya itu. Sungguh panjang pikirannya. Alangkah beruntungnya daku, kalau sekiranya pertemuan kami sebagai suami istri dapat terjadi.[12]

            Anwar dan Idrus

Mereka berdua selalu mengantar atau menjemputku.[13]

Anwar dan Idrus adalah misan sekaligus sahabat Hamidah yang selalu membantunya. Mereka berdua adalah tokoh laki-laki yang menghargai dan membantu emansipasi perempuan, bahkan mereka membantu Hamidah yang depresi setelah ditinggal Ridhan. Anwar adalah tokoh yang lebih tangkas dalam membantu Hamidah, sedangkan Idrus adalah tokoh yang lebih perasa untuk memahami Hamidah.

Ketangkasan Anwar digambarkan sebagai berikut: Terlihat-lihat olehku kesigapannya terjun menolongku tempo hari, ketika aku hampir tewas tergelincir di pantai Tanjung Kalian, ketika kami pada suatau hari pergi berjalan-jalan ke tempat itu.[14] Anwar terlihat sebagai sosok yang tidak ragu membantu Hamidah.

Idrus sebagai orang yang perasa tergambar dalam kutipan berikut: “Dah! A…ku merasa amat beruntung dapat meninggal di hadapanmu. Aku tahu! Aku mesti mati. Maafkanlah kelalaianku dahulu menyia-nyiakan cintamu yang suci. Cukuplah aku menderita, aku menghukum diriku.”[15] Idrus dalam kutipan tersebut hadir sebagai laki-laki yang mengagumi dan mencintai perempuan, bahka ia rela menghukum dirinya sendiri untuk membuktikan cintanya pada Hamidah.

Rusli

Rusli adalah suami Hamidah hasil perjodohan keluarganya di Jakarta. Meskipun pernikahan mereka tergolong “kawin paksa”, Rusli tetap memandang dan memperlakukan Hamidah dengan penuh hormat. Rusli tidak pernah merendahkan Hamidah, sebaliknya ia ingin membahagiakannya.

Sedangkan suamiku amat baik, kasih akan daku, hormat dan menurut segala perkataanku, lagi demikian.[16] Kutipan tersebut merupakan bagian awal pernikahan Hamidah dan Rusli. Rusli melalui fokalisasi Hamidah, ialah orang yang baik dan perhatian terhadap perempuan, meskipun pernikahnnya adalah hasil perjodohan Rusli tidak memandang rendah dan berlaku semena-mena pada Hamidah.

Suamiku, meskipun ia berumah dua, tetapi ia bersifat adil. Penghargaan dan hormatnya kepadaku masih tetap sebagai semula.[17] Kutipan tersebut merupakan kisah ketika Rusli memiliki istri kedua atas izin Hamidah yang tak mampu memberikan keturunan. Sekali lagi melalui fokalisasi Hamidah, Rusli menjadi sosok yang menghargai perempuan dan berusaha bersikap adil, terutama pada Hamidah selaku istri pertamanya. Rusli dalam bagian ini juga menunjukan bahwa ia tidak seuruhnya profeminis, karena poligami yang dilakukannya tidak lain adalah bentuk penindasan terhadap perempuan.

“Mengapa engkau berkata begitu? Sesunggunyakah itu yang kau kehendaki daripadaku? Ya, aku memang telah membuat suatu kesalahan. Dan sekarang, tak pula aku mau mengikati engkau lagi. Sejak dari sekarang engkau bebas dari kekuasaanku. Engkau boleh berbuat sekehendak hatimu, kalau sekiranya ini yang kau kehendaki. Segala yang ada di rumah ini, hakmulah. Uangmu yang dahulu kita pakai untuk modal, kukembalikan dua kali lipat. Dengan begini, aku percaya kehidupanmu tidak akan terlantar. Esok pagi aku pergi kepada penghulu menceritakan hal ini. Bagaimana? Setujukah engkau?”[18]

Kutipan di atas ialah kisah ketika Hamidah meminta cerai dari Rusli. Rusli pada tersebut terlihat lembut dan perhatian dengan Hamidah, penyesalannya karena telah menyakiti Hamidah (berpoligami) menandakan bahwa ia adalah lelaki yang menghargai perasaan perempuan. Kelapangan hati Rusli yang mengizinkan permintaan Hamidah menunjukan bahwa ia menghormati hak dan kebebasan perempuan, ia tidak mau mengekang perempuan, terutama Hamidah dalam kisah ini.

Berdasakan tokoh profeminis di atas maka dapat disimpulkan bahwa Hamidah dalam kisah Kehilangan Mestika sepanjang Hidupnya selalu didampingi oleh orang-orang yang bukan hanya menyayanginya sebagai anak dan kekasih, namun juga menghargainya sebagai seorang perempuan. Kekuatan dan keteguhannya dalam menghadapi hidup bukan hanya bersumber pada dirinya namun juga didukung oleh kehadiran tokoh-tokoh tersebut. Dengan demikian Khilangan Mestika merupakan novel feminis perempuan yang bukan hanya menunjukan kekuatan seorang perempuan, namun juga menunjukan bagaimana seharusnya laki-laki memandang dan memperlakukan perempuan.

 



[1] Baca H.B. Jassin, “HAMIDAH: Pengarang Wanita Berjiwa Islam”, (Jakarta: Pusat Dokumentasi Sastra, 1968).

[2] Sugihastuti dan Suharto, Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 18.

[3] Ibid, h. 239.

[4] Hamidah, Kehilangan Mestika, (Jakarta Timur: Balai Pustaka, 2011),  h. 42.

[5] Ibid., h. 45.

[6] Ibid., h. 79.

[7] Ibid., h. 9.

[8] Ibid., h. 16.

[9] Ibid., h. 18.

[10] Ibid., h. 26.

[11] Ibid., h. 13.

[12] Ibid., h. 33.

[13] Ibid., h. 43.

[14] Ibid., h. 51.

[15] Ibid., h. 87.

[16] Ibid., h. 77.

[17] Ibid., h. 82.

[18] Ibid., h. 84.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ondel-Ondel dalam Dua Garis Biru (2019)

SURVEI KKN

KEHILANGAN