Zaman Transisi dan Arah Zaman Baru dalam Novel Belenggu

 

Zaman Transisi dan Arah Zaman Baru dalam Novel Belenggu

Oleh Malik QIlam

Literature is an expression of society. Kalimat yang berarti “sastra adalah ekspresi masyarakat” tersebut memiliki makna bahwa sastra berasal dari masyarakat dan kembali untuk masyarakat.  Sastra menjadi ekspresi dari apa yang dirasakan seorang pengarag –sebagai anggota dari masyarakat, kemudian sastra kembali diserap (dibaca) oleh masyarakat. Dengan demikian sastra mencerminkan dan mengeskpresikan hidup dalam masyarakat.

Sastra melalui pendekatan sosiologi dipandang sebagai dokumentasi sosial. Seniman dalam sastra menyampaikan sebuah kisah yang di dalamnya mengandung kebenaran sejarah dan sosial, namun bukan berarti sastra mencerminkan situasi sosial (pada waktu tertentu) secara tepat. Sastra tidak mampu menangkap sekaligus mengungkapkan kebenaran sejarah secara lengkap dan sempurna, karena sastra terikat pada konteks. Oleh karena itu sastra hanya berisi intisari dan ringkasan dari sebuah sejarah.

Salah satu karya sastra Indonesia yang mengandung gambaran dan ekspresi masyarakat secara kuat ialah novel Belenggu karya Armijn Pane. Novel Belenggu yang membuat nama Armijn Pane terkenal. Armijn Pane adalah pendiri Poedjangga Baroe, majalah kesusastraan dan kebudayaan yang memberikan semangat baru pada seni dan budaya Indonesia pada tahun 1933 hingga 1942. Armijn Pane melalui Belenggu, memberikan perubahan pada gaya sastra prosa di Indonesia.

Belenggu adalah karya prosa yang beda dari zamannya, karena menyajikan sebuah cerita kehidupan yang dibiarkan menggantung begitu saja. Novel ini mendapat reaksi yang hebat –baik dari yang pro maupun yang kontra: yang pro menyokongnya sebagai hasil sastra yang berani dan yang kontra menyebutnya sebagai sebuah karya cabul yang terlalu banyak melukiskan kehidupan nyata yang selama itu disembunyikan di belakang dinding-dinding kesopanan.[1] Berdasarkan reaksi tersebut tulisan ini berusaha melihat keadaan sosial yang terekam dalam novel Belenggu, menggunakan sosiologi sastra.

Sosiologi sastra adalah sebuah kajian sastra yang memandang sastra sebagai dokumentasi sosial. Sastra tidak bisa dilepas dari aspek kebudayaan lain, oleh karena itu untuk memahaminya sastra harus dikembalikan ke tengah-tengah masyarakat.[2] Sebagai dokumen sosial, sastra dapat dipakai untuk mengurai ikhtisar sejarah sosial.[3] Dengan demikian dalam sosiologi sastra novel Belenggu adalah dokumentasi sosial.

Belenggu berisi kisah cinta segitiga suami istri Sukatono (Tono) dan Sukartini (Tini) dengan Rohayah (Yah), teman kecil Tono. Tono dan Tini adalah suami istri yang tidak harmonis karena keduanya telalu sibuk menjalani hidupnya, Tono sebagai dokter dan Tini sebagai anggota organisasi. Tono yang merasa lelah dan kesepian pun bertemu Yah, sahabat kecilnya yang diam-diam memendam cinta. Tidak butuh waktu lama Tono dan Yah pun saling cinta dan hidup bersama. Singkat cerita Tini insaf dengan kesalahannya dan Yah merasa bersalah merusak rumah tangga Tono, Tini dan Yah pun sama-sama meninggalkan Tono, namun ketika mereka pergi keduanya merasa kehilangan Tono.

Dalam kisah Belenggu konflik cinta yang terjadi dilandasi oleh gaya hidup para tokohnya. Tono adalah seorang pemuda yang awalnya gemar bersenang-senang, kemudian insaf dan mejadi sosok yang terlalu serius dalam belajar serta bekerja. Tini adalah seorang wanita cantik yang aktif dalam kegiatan organisasinya sehingga abai dengan suaminya. Lalu Rohayah adalah sosok perempuan yang melawan kawin paksa dan menjadi kupu-kupu malam, akhirnya bertemu Tono. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa keadaan sosial saat itu melandasi konflik cerita.

Keadaan sosial yang terkandung dalam novel Belenggu ialah perubahan, perubahan zaman dan perubahan sosial. Perubahan tersebut ditandai dengan hidup Tini yang bebas dan aktif, Yah yang melawan nasib, dan Tono yang menjadi alim.

Tini merupakan gambaran dari wanita modern, Tini Tertawa: “Saya yang terlalu modern!”(53). Selain modern Tini juga sosok perempuan yang feminis, “Kami lain, kami bimbing nasib kami sendiri, tiada hendak menanti rahmat laki-laki”.[4]

 Namun dalam kefeminisan Tini, ada penyesalan atas renggangnya hubungan ia dengan Tono. Mengapa tiada dikatakannya: “Apa perlunya mengingat waktu yang dahulu, aku cinta padamu, aku tidak peduli siapa dan apa engkau dahulu. Engkau kucinta, habis perkara.”[5]

Yah merupakan gambaran dari sosok wanita yang melawan nasib. “aku dikawinkan dengan laki-laki yang tiada kusukai, … aku kemudian lari sampai ke Betawi, … aku tiada berumah tetap, rumahku di hotel berganti-ganti, pindah dari satu kota ke kota lain.”[6] Namun pemahamnnya terhadap hubungan suami-istri masih sangat tradisional dan sederhana, yang mana istri harus merawat dan menyenangkan suami.

“Dokter, tiadakah panas hari ini? Bolehkah saya tanggalkan baju tuan dokter?” dia tiada menunggu jawab dokter Sukartono, dengan segera ditanggalkannya. Sesudah disangkutkannya baju itu dia kembali, lalu berlutut dihadapan Sukartono, terus ditanggalkannya sepatunya, dipasangkannya sandal yang diambilnya dari bawah kerosi Sukartono.[7]

Sedangkan Tono adalah sosok intelektual (karena ia seorang dokter) yang memandang pernikahan secara sederhana dan tradisional. Pandangan Tono, setelah menikah hidup akan lebih bahagia karena dilakukan bersama-sama. Kenyataanya pernikah Tono tidak begitu.

 “Isteriku hidup sendiri. Dahulu kalau hendak kemana-mana selalu dikatakannya dahulu, kalau aku tiada di rumah ditinggalkannya surat mengatakan kemana dia. Sekarang entahlah. Kata orang kawin itu pikiran, bersatu tujuan, rupanya setelah nikah, berlainan paham juga, masing-masing hidup sendiri.” [8]

Ketiga tokoh tersebut memiliki kesamaan kondisi, harus berubah. Tono yang terbelenggu idealismenya perlu berubah agar bisa menerima Tini. Tini yang terbelenggu feminismenya harus berubah agar bisa harmonis dengan Tono. Yah yang terbelenggu cintanya harus bisa ikhlas agar kehidupan mereka damai. Kehadiran kondisi tersebut sesuai dengan inti kisah Belenggu, bahwa manusia bisa terbelenggu, dan belenggu itu harus dilepaskan.

Diapun insaf, sekali-kali manusia itu akan merasa terbelenggu semangatnya dan pikirannya, tetapi hal itu hanya untuk sementara waktu saja, sebagai tempat perhentian sebelum sampai ke masa yang baru, ketika belenggu zaman dahulu terlepas sama sekali, matapun dapat memandang dengan leluasa ke zaman yang akan datang.[9]

Merujuk pada sejarah Indonesia, keadaan sosial kala itu ialah masa transisi. Tahun 1930—1940 merupakan akhir masa penjajahan belanda, sehingga muncul harapan dalam masyarakat Indonesia menuju zaman baru, dalam artian untuk bisa terbebas. Sehingga bisa dikatakan bahwa novel Belenggu ini merupakan novel yang merekam keadaan sosial transisi masyarakat Indonesia. Asumsi tersebut juga diperkuat dengan adanya “polemik kebudayaan” pada tahun 1935, polemik yang berselisih tiga tahun dengan terbitnya Belenggu seolah menjadikan belenggu sebagai respon keadaan saat itu.

Novel Belenggu dalam merespon polemik kebudayaan menunjukan bahwa arah baru tersebut tidak boleh terlalu idealis, terlalu abisius, dan terlalu terpaku. Untuk mencapai arah baru kita tidak boleh terbelenggu pada hal-hal yang menghentikan langkah kita. Belenggu menunjukan bahwa masyarakat Indonesia saat itu masih banyak terbelenggu sehingga Indonesia belum bisa mencapai zaman baru.



[1] Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia, (Bandung: Binacipta, 1976), h. 41.

[2] Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 332.

[3] Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia, 2016), h. 110.

[4] Armijn Pane, Belenggu, (Jakarta: Dian Rakyat, 2010), h. 53.

[5] Ibid., h. 63.

[6] Ibid., h. 50.

[7] Ibid., h. 33.

[8] Ibid., h. 37.

[9] Ibid., h. 148.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ondel-Ondel dalam Dua Garis Biru (2019)

SURVEI KKN

KEHILANGAN