Sastra dan Pemikiran (Wellek & Warren)

 

RINGKASAN BACAAN SASTRA DAN PEMIKIRAN

Terdapat berbagai cara untuk menjabarkan hubungan sastra dengan pemikiran/filsafat. Sastra sering dilihat sebagai suatu filsafat atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus, Jadi, sastra dianalisis untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran hebat.[1] Hal inilah yang menjadi perdebatan para ilmuwan, apakah didalam karya sastra terdapat kandungan filsafat?. Menurut Rene Wellek dan Austin Warren bahwa terdapat kandungan filsasat didalam karya sastra. Namun, karya sastra tidak bisa disebut sebagai ilmu filsafat.

George Boas didalam ceramahnya “Philosophy and Poetry”, mengeluarkan pandangan yang meragukan kandungan filsafat pada karya sastra.

... pemikiran dalam puisi biasanya basi, dan sering kali salah, dan tidak ada orang di atas enam belas tahun yang menganggap puisi bernilai karena isinya.[2]

Boas juga menyatakan bahwa orang terlalu melebih-lebihkan kadar ilmiah puisi (tampaknya yang dimaksud Boas disini adalah puisi lirik). Menurut Rene Wellek dan Austin Warren, memang benar bahwa banyak puisi yang terkenal karena filsafatnya, ternyata hanya berbicara hal-hal yang umum seperti kefanaan hidup dan permainan nasib.[3]

Karya sastra dapat dianggap sebagai pemikiran dan filsafat. Karena sejarah sastra sejajar dan mencerminkan sejarah pemikiran. Hal ini terjadi, karena pengarang kadang-kadang menyatakan bahwa ia menganut atau paling tidak mengetahui garis besar ajaran filsafat pada zamannya. A.O. Lovejoy merupakan pelopor pemikiran dan metode “Sejarah Pemikiran”. Menurut Lovejoy metodenya berbeda dua hal dengan metode sejarah filsafat; (1) Studi filsafat hanya mencakup pemikir-pemikir besar, sedangkan dalam pemikiran Lovejoy juga memasukkan pemiki-pemikir yang kurang terkenal. (2) Sejarah filsafat mempelajari sistem-sistem besar, sedangkan sejarah pemikiran menelusuri bagian dari sistem itu, yakni motif-motif pribadi. Lovejoy menentang para ilmuwan sejarawan filsafat untuk mencari unsur-unsur ilmiah secara berlebihan. Sejarah sastra secara tidak langsung membantu pemahaman sastra. Wellek Warren menentang kecenderungan sejarawan filsafat untuk mencari unsur-unsur ilmiah secara berlebihan.[4] Tetapi menurut Wellek Warren ada satu hal yang menarik dari metode Lovejoy yaitu metode Lovejoy mengesampingkan pembagian berdasarkan bahasa dan negara.

            Pendekatan Geistesgeschichte dipakai secara meluas sabagai istilah pengganti sejarah pemikiran dalam pengertian Lovejoy, dan istilah ini lebih lebih cocok daripada istilah inggrisnya karena tidak terlalu menekankan keilmiahan karya sastra. Teori ini beramsumsi bahwa setiap metode memiliki “semangat zaman” dan teori ini berusaha merenkonstruksikan semangat dari suatu zaman yang berbeda dari berbagai objetivitas suatu zaman—mulai dari agama sampai tata busananya. Metode ini mencari totalitas di balik objek-objek dan menerangkan semua fakta berdasarkan semangat zamannya.[5]

Geistesgeschichte berkaitan erat dengan semua aktivitas budaya—manusia, dan membuat kesejajaran antaraa seni dan pengetahuan. Wellek dan Warren berpendapat bahwa “semangat zaman” dapat dijadikan pegangan untuk menjelaskan perubahan gaya dan ragam sastra dari zaman satu ke zaman lainnya. Tetapi jika “semangat zaman” dibakukan menjadi sesuatu yang absolut dan menjadi patokan mitos yang tetap untuk setiap zaman, pendekatan ini berbahaya. Perubahan gaya oleh Geistesgeschichtei diterangkan melalui dua konsep pertentangan dua ideologi yang kontras.

Menurut Wellek dan Warren, dunia buatan Geistesgeschichte tidak dapat menjawab permasalahan umum sejarah umat manusia—atau paling tidak sejarah kebudayaan Barat. Pandangan Geistesgeschichte bahwa seluruh aktiviyas manusia dipadukan oleh satu semangat, kurang mantap karena terlalu mengandalkan perbandingan, analogi, dan sejumlah praduga tentang naik turunnya perubahan gaya dan Denkformen.[6]

Rene Wellek dan Austin Warren berpandangan bahwa sebaiknya ilmuwan memikirkan kapan dan bagaimana pemikiran benar-benar masuk dalam kesusastraan dibandingkan para ilmuwan membuat spekulasi atas permasalahan yang besar seperti sejarah filsafat dan integrasi budaya. Munculnya pemikiran dalam kesusastraan jika pemikiran mulai diwujudkan dalam tekstur karya sastra dan menjadi bagian karya sastra. Dengan kata lain, ini terjadi kalau pemikiran dalam arti biasa menjadi symbol atau mitos. Sebenarnya dengan adanya pemikiran/filsafat dalam konteks tertentu dapat menambah nilai artistik karya sastra karena mendukung beberapa nilai artistik penting, seperti kompleksitas dan koherensi. Selain itu, pemikiran teoritis dapat memperdalam jangkauan sastrawan. Tetapi, jika terlalu banyak ideologi yang tidak disatukan dengan unsur-unsur karya sastra, justru dapat mengganggu.[7] 

Menurut Rene Wellek dan Austin Warren karya sastra bukanlah pengganti filsafat. Karya sastra memiliki tujuan dan alasan keberadaannya sendiri. Karya sastra yang berisi pemikiran, hendaknya tidak dinilai karena pemikirannya, tetapi dari kesatuan dan intensitas artistiknya.

Rene Wellek dan Austin Warren tidak setuju dengan pendapat George Boas yang meragukan kandungan filsafat pada karya sastra. Menurut Wellek dan Warren didalam karya sastra terdapat kandungan pemikiran/filsafat. Namun, mereka menyetujui pendapat Boas mengenai para pengarang yang terlalu melebih-lebihkan kadar ilmiah puisi (tampaknya yang dimaksud Boas disini adalah puisi lirik). Wellek dan Warren menyatakan bahwa puisi yang seperti dijelaskan oleh Boas, biasanya puisi yang terkenal karena filsafatnya tetapi hanya membicarakan hal-hal yang umum.

Wellek Warren menentang kecenderungan sejarawan filsafat untuk mencari unsur-unsur ilmiah secara berlebihan. Hal ini merupakan metode Lovejoy (metode “Sejarah Pemikiran”. Namun, kali ini Wellek Warren juga tidak terlalu menentang metode tersebut, karena terdapat satu hal yang menarik dari metode Lovejoy yaitu metode Lovejoy mengesampingkan pembagian berdasarkan bahasa dan negara.

Teori Geistesgeschichte beramsumsi bahwa “setiap metode memiliki ‘semangat zaman’ dan teori ini berusaha merenkonstruksikan semangat dari suatu zaman yang berbeda dari berbagai objetivitas suatu zaman—mulai dari agama sampai tata busananya. Metode ini mencari totalitas di balik objek-objek dan menerangkan semua fakta berdasarkan semangat zamannya.” Seperti dua pendapat diatas Wellek dan Warren menolak dan menyetuji pendapat ini. Wellek dan Warren menyetujui bahwa “semangat zaman” dapat dijadikan pegangan untuk menjelaskan perubahan gaya dan ragam sastra dari zaman satu ke zaman lainnya. Sedangkan mereka tidak menyetujui metode ini, karena dunia buatan Geistesgeschichte tidak dapat menjawab permasalahan umum sejarah umat manusia—atau paling tidak sejarah kebudayaan Barat.

Menurut pembacaan kami, didalam karya sastra terdapat kandungan filsafat/pemikiran. Karena banyak pengarang karya sastra yang memasukkan unsur-unsur filsafat ke dalam karya sastra. Kami menyetujui pendapat Wellek dan Warren yang menyebutkan bahwa karya sastra tidak dapat disebut sebagai filsafat, karya sastra dan filsafat/penafsiran merupakan dua cabang ilmu yang berbeda. Selain itu, dari teks-teks yang telah disajikan, penulis menyeleksi betul mana teks-teks yang mendukung argumennya dan menolak argumennya. Namun, penulis pada bab ini tidak terlalu konsisten terhadap pendiriannya melihat metode yang ada, terkadang penulis awalnya menolak tetapi kemudian terdapat satu hal yang membuatnya menyetujui ajaran metode tersebut.

 



[1] Rene Wellek, dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2016), Cet. ke-6, h. 121.

[2] Ibid, h. 121.

[3] Ibid, h. 122.

[4] Ibid, h. 123.

[5] Ibid, h. 133.

[6] Ibid, h. 137.

 

[7] Ibid, h. 138.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ondel-Ondel dalam Dua Garis Biru (2019)

SURVEI KKN

KEHILANGAN