REKOMENDASI FILM ABE (2020)

 


ABE (2020)


 Abe (2020) bercerita tentang perjalanan kuliner dan gastronomi Abraham, seorang anak dari keluarga multikultur yang belum plural. Ayahnya adalah muslim palestina dari keluarga yang cukup kolot, sedangkan Ibunya adalah yahudi israel dari keluarga yang moderat. Film ini menawarkan sebuah diskursus perspektif antaragama untuk menemukan sebuah harmonisasi pluralisme melalui simbolisasi fusion food.  Tema-tema problematik milenial seperti krisis identitas, proses instan, dan pemberontakan jadi nuansa cerita yang mengisi keseluruhan film ini. Sebuah film yang cukup berat di tahun yang berat. ⭐ (4/5)= very good)

Menariknya film, ini ialah pembahasan yang cukup mendalam pada penggalian perspektif antaragama tersebut. Kita bisa melihat secara sederhana dari bagimana setiap keluarga besar memandang nama Abraham –“Ibrahim” untuk keluarga muslim dan “Avraham” untuk keluarga yahudi. Krisis indetitas di dalam diri Abe –yang sebenarnya di picu oleh konflik dan konfrontasi pendapat dari kedua besan orangtuanya, dikemas begitu berimbang tanpa menjatuhkan satu sisi. Kita akan melihat bagaimana satu pendapat berbeda, lalu ada pendapat lain yang sama, dan ada juga pengakuan para kakek-nenek tentang penyesalan masa lalu yang melahirkan jurang pemisah di antara manusia.

Eksplorasi masalah pada tokoh Abe juga begitu mendalam. Masalah-masalah yang dihadapi oleh generasi milenial, disintegritas antara keterbukaan dan kesetaraan dengan kebudayaan dan tata order masa lalu. Hasrat untuk bebas tampil dari tindakan-tindakan pemberontakan tokoh, keinginan untuk mencapai hasil maksimal dengan melompati prosesnya, hingga kebingungan menghadapi realitas. Pertemuan Abe dengan Cicho, seorang chef fusion food asal Brazil, menjadi jalan keluar dalam menghadapi masalah-masalahnya.

Makanan, sesuai dengan jenisnya fusion food, dalam film ini berperan sebagai simbolisasi sekaligus tawaran berpikir untuk kehidupan yang harmonis. Simbolisasi ini sangat masuk akal (bagaimana tidak?), karena emosi sangat berhubungan dengan metabolisme tubuh manusia. Emosi menguras energi, dan untuk mengganti energi kita harus makan. Berdasarkan ide itu lah , saya pikir, gagasan makanan ini masuk ke dalam cerita.

Pada eksplorasi makanan Abe banyak mempelajari cara penemuan hubungan yang harmonis. Bagaimana pedas menyatu dengan manis, pahit dengan guri, atau semacamnya (yang saya sendiri tidak terlalu mengerti). Peta rasa, variasi rempah, dan ragam bahan masakan yang dilibatkan pada perspektif budaya-agama adalah apa yang akan kita lihat dari film ini. Sayangnya eksplorasi multikultural di dalam lingkungan dapur masih kurang, semuanya hanya terfokus pada makanannya.

Kendati demikian film ini benar-benar menawarkan sebuah kisah yang dekat dengan saya (kalau tidak bisa bilang kita), sebagai generasi milenial yang kelak akan menghadapi perbedaan-perbedaan yang bukan hanya horizontal tetapi juga vertikal. Saya ingat dahulu guru SMA saya pernah berkata, globalisasi akan membawa kita ke dalam dunia yang mengerdil. Saya rasa saya sangat setuju dengan itu, dunia mengerdil, masyarakat sosial terhimpit, budaya dan hukum yang kaku akan menghancurkan kita. Pada film ini melalui Abe, keberanian (nafsu bebas) yang membabi buta justru akan menghamtam manusia lebih keras, sementara kebijaksanaan yang halus akan melahirkan kehidupan yang lebih harmonis. Well, well, well, sebelum saya semakin melantur akan saya cukupkan sampai di sini.

 

Thx guys.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ondel-Ondel dalam Dua Garis Biru (2019)

SURVEI KKN

KEHILANGAN