Diskusi Kajian Sastra: Mimesis, Pragmatis, Objektif (DUDODIT)

 

Diskusi kajian sastra: mimesis, pragmatis, objektif

Oleh-oleh Malik buat temen-temen DUDODIT

 (sebuah materi remeh-temeh tentang bagaimana cara melihat karya sastra)


Pendekatan Mimesis

Pendekatan Mimesis adalah telaah sastra dengan memperhatikan hubungan sastra dengan dunia nyata. Abram berpendapat bahwa, pendekatan mimesis merupakan pendekatan estetis yang paling primitif.[1] Istilah mimetic berasal dari bahasa Yunani, mimesis, yang sejak dahulu dipakai sebagai istilah untuk menjelaskan hubungan antara karya seni dan kenyataan (reality).[2] Mimesis merupakan sebuah teori sastra yang berasal dari Plato dan Aristoteles. Plato berpendapat bahwa, sastra, seni, hanya merupakan peniruan, peneladanan, atau pencerminan dari kenyataan.[3] Aristoteles berpendapat bahwa seni merupakan katharsis (ungkapan jiwa), seni merupakan kontraksi, perpaduan yang berdasarkan unsur-unsur dunia nyata, mencerahi segi dunia nyata tersebut.[4] Plato dan Aristoteles sama-sama mengatakan bahwa seni berhubungan dengan dunia nyata, baik sebagai rekaan maupun ungkapan jiwa. Hal tersebut yang selanjutnya menjadi landasan teori mimetik Abrams untuk menjelaskan karya sastra dengan melihat hubungan antara sastra dengan kenyataan.

Perkembangan dari pendekatan mimesis ini ialah pendekatan sosiologis. Pendekatan sosiologis ialah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai dokumentasi sosial. Menurut Wellek dan Warren, Seniman dalam sastra menyampaikan sebuah kisah yang di dalamnya mengandung kebenaran sejarah dan sosial, namun bukan berarti sastra mencerminkan situasi sosial (pada waktu tertentu) secara tepat –karena sastra terikat pada konteks.[5] Oleh karena itu sastra hanya berisi intisari dan ringkasan dari sebuah sejarah.

Dengan demikian: Pendekatan mimesis ialah pendekatan yang memandang karya sastra sebagai hasil peniruan dunia nyata. Karya sastra dan Dunia nyata memiliki sebuah hubungan, dipengaruhi dan mempengaruhi. Telaah/metode kajian sastra mimesis selalu memperhatikan hubungan sastra dengan dunia nyata tersebut. Sekian.

Di luar Materi: Salah satu kelompok yang pesat dalam mengembangkan pendekatan soisologis ialah marxis. Literature is an expression of society. Kalimat yang berarti “sastra adalah ekspresi masyarakat” tersebut memiliki makna bahwa sastra berasal dari masyarakat dan kembali untuk masyarakat.  Sastra menjadi ekspresi dari apa yang dirasakan seorang pengarang –sebagai anggota dari masyarakat, kemudian sastra kembali diserap (dibaca) oleh masyarakat. Dengan demikian sastra mencerminkan dan mengeskpresikan hidup dalam masyarakat. Sosiologi sastra adalah sebuah kajian sastra yang memandang sastra sebagai dokumentasi sosial. Sastra tidak bisa dilepas dari aspek kebudayaan lain, oleh karena itu untuk memahaminya sastra harus dikembalikan ke tengah-tengah masyarakat.[6] Sebagai dokumen sosial, sastra dapat dipakai untuk mengurai ikhtisar sejarah sosial.[7]

Pendekatan Pragmatis

Pendekatan pragmatis adalah pendekatan yang mempertimbangkan implikasi melalui berbagai kompetensinya.[8] Horatius mengatakan aut prodesse volunt aut poetae, aut simul et iucunda et idonea dicere vitae (yang artinya tujuan penyair ialah berguna dan member nikmat, ataupun mengatakan hal-hal yang enak dan berfaedah untuk kehidupan).[9] Pendekatan pragmatis ini berhubungan erat dengan fungsi sastra, yang dalam Rene wellek kita dikenalkan dengan frasa Horatius Ducle et Utile. Menurut Horatius sastra itu indah dan berguna, nikmat dan bermanfaat, dll.

Dinamika struktualisme Mukarovsky. Sastra itu bukan hanya seni namun juga sarana menyampaikan sesuatu. Dahulu sastra digunakan untuk menyampaikan sesuatu, nilai estetik datang belakangan. Namun pada zaman romantik barulah sastra mulai terbebas (dari fungsi berguna itu) sehingga karya sastra yang menonjol saat itu ialah ekpresif. Artinya pada zaman dahulu sastra sengaja dibuat untuk mempengaruhi (memberikan dampak) pada pembacanya, sehingga apa yang terjadi pada pembaca selanjutnya bisa dikatakan tujuan dari suatu karya. Pada zaman romantik berubah, karya sastra tidak bertujuan mempengaruhi pembaca namun (semata-mata) sebagai ekspresi dari sang pengarangnya. Ternyata pada perkembangan zaman selanjutnya dampak yang dialami pembaca berbeda dengan apa yang ingin disampaikan pengarang. Hal ini menyebabkan Mukarovsky mengatakan bahwa, “the only reality to which the aesthetic sign refers is the reality of its perceiver” –satu-satunya kenyataan yang diacu oleh tanda estetik ialah kenyataan sang penerimanya.

Dengan demikian Pendekatan pragmatis memperhatikan karya sastra dan pembacanya. Manfaat dari pendekatan ini ialah menjelaskan keragaman tanggapan pembacanya.

Pendekatan Objektif

Pendekatan objektif dengan demikian memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur, yang dikenal dengan analisis intrinsik.[10] Telaah sastra objektif sudah pasti kita ketahui, yaitu struktualis, yang mana kita memandang sastra sebagai struktur otonom kemudian membongkar struktur tersebut sebagai tema, alur, sudut pandang, dll. Mengapa sastra dipandang sebagai struktur otonom? Karena menurut Aristoteles tragedi dalam karya sastra memiliki syarat order, amplitude, unity, dan connection (yang kalau di dalam bukunya Nyoman menjadi kesatuan, keseluruhan, kebulatan, dan keterjalinan).

Order berarti urutan dan aturan: urutan aksi/peristiwa dalam karya sastra harus teratur, menunjukan konsekuensi dan konsistensi yang masuk akal di awal, tengah, dan akhir. Amplitude atau kompleksitas merujuk pada ruang lingkup sebuah cerita agar peredaran atau perubahan-perubahan yang ada berjalan sesuai. Unity berarti kesatuan atau kebulatan seluruh unsur yang tidak dapat lepas atau hilang tanpa mengacaukan semuanya. Connection  berarti keterjalinan seluruh unsur, sehingga peristiwa-perstiwa bukan hanya hadir namun juga terjelaskan dan menjelaskan. Dengan adanya seluruh komponen tersebut maka karya sastra bisa dikatakan sebagai struktur otonom. Dan oleh karena itu pendekatan objektif adalah pendekatan yang bertumpu pada karya sastra itu sendiri.

 

 



[1] Noman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yohyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 69-70.

[2] A. Teeuw, Sastera dan Ilmu Sastera, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2003), h. 43.

[3] Burhan Nurgiyantoro,Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012),  h. 7.

[4] A. Teeuw, Sastera dan Ilmu Sastera, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2003), h. 182.

[5] Baca “Sastra dan Masyarakat” dalam Rene Wellek dan Austin Warren. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia, 2016.

[6] Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), h. 332.

[7] Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia, 2016), h. 110.

[8] No nyoman no cry (h.72)

[9] Masih baca Atiw (h.151)

[10] Kalau kata Fahri “dari nyoman pastinya” (h. 73)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ondel-Ondel dalam Dua Garis Biru (2019)

SURVEI KKN

KEHILANGAN