Another Farewell
Suatu hari kotak yang sudah lama kosong itu hilang, tetapi isinya datang. Ternyata untuk mendapatkan isi kita harus mempertaruhkan wadahnya. Seperti hati, yang harus siap terluka, diobrak-abrik nafsu manusia. Karena kehidupan terlalu getir dengan pertemuan dan perpisahan, maka kita lengkapi saja kegetiran itu dengan bumbu terbaik dari ketumbar desaku yang kucinta.
***
Hai,
Tayo.
Manusia
yang tiba-tiba lahir di menjelang akhir profesi gua sebagai ondel-ondel. Makhluk songong menyebalkan yang enggak terduga justru bisa jadi orang
yang ada di beberapa momen buruk gua. Kenapa harus lu? Pertanyaan yang sering
muncul di pikiran gua yang semrawut.
Mungkin
ini salah satu bentuk bercandanya “perjalanan” karena gua pernah mikir sehebat
apa sih lu sampai “mengoleksi” cewek-cewek kelas kakap. Padahal itu cuma
pikiran selintas doang di sela rutinitas gua jadi pengabdi cuan, LOL.
Gua
orang yang selesai ngantor langsung cabut ke ke kantor lain, sedangkan lu yang selesai ngantor langsung ngegembala kambing. Kita jarang banget cuci kaki bareng,
mungkin kalau dihitung enggak akan mungkin lah ya. Gak pernah berinteraksi
yang berlebih sekadar angkat jempol kalau transferan udah masuk. Sekadar gua tahu, “Oh ini yang dekat sama ibu bos.” atau “Oh
ini yang meletusin balon hijau terus gua yakin pasti hatiku sangat kacau.” Secara ringkas, kita dua orang yang di luar ekspektasi bisa berteman.
Cisadane,
tanggal 5 Mei 1999 tepat di malam tarawih pertama, yang harusnya gua jadi bilal. Bagi gua itu
jadi hari pertama gua mengenal diri lu, kayak kita baru kenalan aja. Kalau saat
itu pertanyaan gua cukup lu jawab dengan singkat “kepo”, mungkin selesai sampai di
situ. Enggak nyangka, lu malah jawab lebih panjang. "Kepoooooooooooooooooooooooooooooo" gitu. Walaupun ternyata seiring
berjalannya waktu, apa yang lu bilang cuma vincent dan dusta. Salah siapa? (Salah
orang-orang yang masih berdebat antara makan bubur diaduk atau enggak diaduk
padahal ada sekte yang lebih meresahkan. Ya, makan bubur pakai nasi).
Setelah
itu, gua dan lu jadi sering tukeran sikat gigi. Ajaib bisa nyambung baru kali ini ada orang bisa ngomong sama ikan. Gatau deh gimana
caranya lu bisa menghadapi ketidakasikan gua. Ya, kayak dialognya Jepri Mumun, “Kadang jempol suka kepeleset.” Sangking payahnya, pesan yang gua kirim justru pesan yang gua terima. Karena typing gua yang kaku dan jutek. Padahal
gua suka sama orang itu. (Oke ini curcol)
Gua
gatau apa yang membuat lu mau melanjutkan komunikasi dengan gua. Tapi ketika lu
ngetik, “Makasih ya udah tahu aku.” Gua langsung mikir, oh ini pasti mau kasbon lagi. Oke! Semalam lu bilang, mungkin ada rasa
bertanggungjawab di diri gua saat itu menanggung hutanglu. Atau mungkin yang sebenar-benarnya
ya gua merasa sedikit spesial -pakai telor, udang, sama teri medan (biar kayak nasi goreng sifud), karena tahu cerita dari sudut dinding rumah sang editor. Jadi, gua perlahan-lahan semakin membuka dompet. Mempersilakan uang gua masuk
ke kantong lu.
Sosok
lu bagi gua saat itu adalah orang yang kayaknya se-bajingan-itu kata orang. Gua
sering bilang, “Bangkai!” Maksudnya, bau badanlu yang belum mandi 7 hari. Lu sok asik, sok peduli, sok baik, dan suka memanipulasi orang. Wawasan lu cetek, gua suka
tiap dengar lu baca mantra. (Tolong, jangan salahartikan suka gua, kayaknya gua diguna-guna) Makanya
gua selalu gampang iya iya aja tiap diajak kemana-mana. Gua kayak menemukan
orang yang tepat sebagai ojek online. Banyak tempat yang mau gua tuju dan banyak voucher yang bisa gua pakai. sedikit-sedikitnya gua merasa senang bisa bareng lu setelah tau lu juga suka kemana-mana.
Kalau
lu bilang gua adalah orang yang terlalu baik, lu salah. Gua baik banget, gila kali lu. Gua tahu lu nyakitin hati banyak orang. Tapi gua lanjut tetap jalan
sama lu karena gua kasihan. Lu meyakinkan gua kalau bumi itu bulat, bukan segitiga seperti yang dikatakan Rispo. Naifnya, gua berpegang cuma pada kata-kata
yang ternyata harusnya didengar.
Gua
pikir selama gua enggak laper, gua enggak salah. Gua harus tahu
waktu, kan? Karena lu pernah bilang, “Jangan laper, ini kita lagi dikandang kasuari.” dan
dilanjut “Laper tidak laper bahasa inggrisnya hungry not hungry.” Jadwal-jadwal yang udah dibuat
dari awal buat gua makan, bikin gua yakin gua bisa makan. Gua bisa kok jadi
makananlu. Kayak Bubur Kacang Polong pake Ayam Suwir, misalnya.
Ternyata laper gak laper yang enggak jelas itu jebakan. Gua laper banget, meski bukan
dalam konteks haus. Mungkin lu cuma menganggap gua sejajar dengan boba atau thai tea,
tapi sebenarnya gua thai tea yang pake boba. Timpang tindih jes!
Laper
gua menyebalkan. Gua sendiri gak suka laper. Sulit buat gua mengendalikan
rasa nafsu makan gua. Gak ada yang lebih tepat selain kebelet. Kalau lu bilang gua laper,
mungkin ternyata kebelet. Gua merasa gak nyaman dan aman saat lu dekat dengan pisau daging. Udah coba gua tahan keinginan pup gua tapi ujungnya gua bilang
laper ke lu (gua bilangnya pas narik andong kemarin, tapi mungkin lu gak engeh karena gua lagi jadi kudanya).
Sekali aja gua mau merasa kebelet, bisa-bisanya gua berharap ke depannya lu biarin gua pup dengan nyaman, yang enggak ada hubungan apapun dengan laper. Baik di rumah, kantor, halte, atau pun meja kerja.
Bocah
banget sih gua. Usia gak menjamin sifat kekanakan gua atau sifat bawaan gigi graham yang baru muncul. Jangan dikasih maaf ya..
Pokoknya jangan semangat. Makasih ya tawarannya, gua engga bisa jadi orang yang tepat untuk pesugihan.
Gua cuma bisa diajak laper, minum alkohol, dan bikin lu gak mikir hal-hal
yang gak ada. Rekan kerja yang
payah.
Maka ada asih
udah.
Gambar
si Ano yang salah satu dapet sepuluh komik. Gua suka. Ceritanya materialistis.
(Indonesia, 3 Desumber 2020)
NB: Gak terasa kita udah kenalan 2 dekade.
***
Sudah suatu kebiasaan kalau gua hadir belakangan, bukan
berlagak pamungkas (karena gua bukan bambang) bak hiro-hiro di cerita disnei.
Tetapi mungkin lantaran karakter pemalas nan pemberontak, yang suka bertindak
semina-mina e’e. Ya, selayaknya orang yang telat, gua akan mengikuti siapapun
yang berjalan di depan. Mungkin lebih jelas jika disebut, perasaan kesepian dari para
orang-orang yang tertinggal menuntun mereka untuk mencari api-api di musim
dingin yang berkepanjangan.
Jika “perjalanan” bisa bercanda gua sangat ingin tertawa
bersamanya. Mengajaknya duduk bertukar lelucon, lalu mendokumentasikannya bak
buku “100 komedi pasti lucu” yang sering di kutip bapack-bapack forum Facebook.
Sebaliknya, rasanya ingin gua “debat” ya debat dengan amat keras. Tapi gak
bisa ding. Karena kadang perjalanan itu adalah gua yang sendiri yang
menentukan. Seperti jalan, yang membentang dari sabang sampai aceh kota
(memutar bumi), begitu panjang begitu luas, tapi seberapa jauh bisa dijelajah
adalah gua yang memfaktori. Kaki ini, mata ini, dan ya hasrat ini.
Selalu menyenangkan bisa menentukan, adalah kedambaan
tersendiri untuk bisa begitu mandiri, mandi berdiri. Maklum di rumah pakai
jakuzi. Sesungguh-sungguhnya jika harus bersungguh-sungguh, gua cuma mengikuti
arus. Tak berhasrat tak memiliki tujuan. Seperti kereta yang menuruti kemana
rel dibentang, dan tentu juga karena masinisnya yang duduk sambil angkang-angkang
kaki di ruang kemudi. Tidak pernah ada ekspektasi, mungkin ada, mungkin
sebaiknya kata-kata ini tidak pernah dipercaya. Karena kecewa adalah nasib.
Di kali cisadane, ciliwung, kali kecapi, atau di puncak
sekali pun. Antara empat mata, maka gua akan melepas sebuah tudung saji. Membiarkan
segala sajian itu terbuka, menyerbak, membuat lapar, membuat haus, membuai.
Seperti kata kepercayaan orang jepang, bahwa manusia memiliki beragam selimut
yang dapat dikenakan sesuai keberadaannya. Entah mau disebut apa, kesialan yang
begitu payah, atau kemujuran yang begitu membebani, tapi mata telah bertemu
mata.
Actually, komunikasi adalah hal yang menyenangkan. Mengorek
dan membuka, menyajikan atau menerima, informasi, narasi, persuasi. I used to be, that person u really want to
talk with. Simply coz i am lonely. Jika membuka tudung saji adalah
kesalahan, maka memakan sajiannya juga kesalahan. Kesalahan dua orang, yang tergoda. Menggado sajian yang tidak pernah diekspektasikan. Tapi apa
benar itu kesalahan? Bahkan lebih jauh lagi apa benar isi kotak ini harus ada?
Ah tapi memang
ada beberapa pihak yang sangat membutuhkan penjelasan-penjelasan. Meskipun tanda-tanda
semiotik itu bertebaran dan hidup bersama masyarakat dalam satu kebudayaan. Ngeri!
Pada dasarnya adalah tanah. Masa sih! Tanah, apapun yang
ditanam akan dikandungnya. Kadang tumbuh, kadang mati. Tapi tanah mampu melahap
semua yang mau memasukinya. Cerita, jalan-jalan, gedung-gedung, makanan, semua,
apapun bisa. Mungkin tanah itu serakah dan punya nafsu untuk terus mencari
apapun yang bisa dicari. Tanah itu tidak sehebat itu, tanah itu hanya tanah.
Begitu sederhana, begitu rendah. Namun keras dan diremehkan. Tapi memang tanah
sebaiknya diremehkan, karena tanah adalah tempat dipijak bukan dicium atau
disetubuhi. Tanah bisa terus menopang, kemana pun dan dimana pun 10.
Kebaikan dan hasrat datangnya memang dari hati. Apa yang
membedakannya? Kebaikan adalah pilihan. Hasrat adalah naluri alamiah dan
manusia sawi. Secara hakiki kebaikan dan hasrat tak berhubungan, karena asalnya
akal dan nafsu. Salah adalah biasa, biasa salah adalah salah. Pasti dong!
Kalimat ini hanya untuk membuat paragraf ini jadi lengkap, 4 kalimat lebih.
Kata-kata memang sebaiknya tidak digenggam tapi didengar,
kecuali kalau kata-kata itu ditulis terlebih dahulu di kertas legal dan
dibubuhkan tanda tangan dan materai 6000. Maaf jika kata-kata tidak selamanya
menjadi aksi, dan aksi tidak selamanya selaras dengan kata-kata. Tetapi keduanya
adalah aksi dalam dimensi yang berbeda dan motivasi yang berbeda. Motivasi
sendiri terlalu manja, ia selalu merajuk pada faktor-faktor psikis sang
empunya. Kadang empunya terlalu melangkonis, terlalu lara hingga menolak
kenyataan, mengatakan hal yang sebaiknya tidak dikatakan karena pengaruh esmosi
jihiwa.
Jangan lapar, adalah salah satu kata yang mungkin
diucapkan lantaran emosi. Takut. Takut pada keterjebakan dari rasanya kenyang
dan nyaman yang terlalu memabukan arak pada orang-orang yang meminumnya. Suatu
upaya membatasi, menjaga agar-agar swallow tidak menjadi sendal jempit.
Kata-kata begitu menjebak, penafsiran yang telanjang kadang menciptakan dosa
karena auratnya tidak ditutupi. Aurat-aurat yang seharusnya tidak dilihat dan
ditafsirkan terlalu jauh. Relasi makna. Sama mungkin (lagi) dengan balasan ini,
yang dijawab secara detail setiap paragraf. Membalas dalam konstruksi kecil
secara sintagmatik dengan paragraf sebelumnya. Mencoba menjelaskan dengan
begitu presisi, begitu subjektif, hingga melempar dulu otak ke bekas wadah kopi Mekdi yang rasanya seperti urin sapi. Sehingga yang muncul
adalah kalimat-kalimat tak beraturan, kacau, namun berselimut rapat dari hati
yang posesif pada perasaannya yang lembut. Hiya-hiya-hiya.
Tentu bisa menjadi seperti orang lain apapun
perumpamaannya, bubur ayam atau dubur ayam. Kenapa tidak menjadi seperti gua
dan bubur ayam? Yang hubungannya sangat logis, tipis sensitifitas, hanya sepintas,
sekejap, sesuai kebutuhan, sehabis semangkuk lalu pulang tanpa bekas kecuali
kenyang yang akan hilang seiring waktu memaksa metabolisme untuk terus bekerja.
Iya, baper dan laper yang gak jelas bisa menjebak, karena
ia adalah kata-kata. Tapi sejauh mana batas baper dan laper itu didefinisikan?
Cinta, suka, nafsu, hasrat, atau sebatas kepingin mata. Semakin jauh semakin
kabur. Jangan ditimpangkan. Antara H dan A ataupun F adalah perspektif. Titik dan
sudut mana definisi itu bisa ditarik. Apakah titik titik atau tanda tanya
seperti soal esai? Entah, terlalu pusing untuk dijawab mari kita kerjakan
pilihan gandanya dahulu, antara iya dan tidak. Ya, mungkin terlalu menyederhanakan. Hmm jadi
masalah baru deh.
Duh mulai laper
abis begadang.
Laper emang menyebalkan. Terutama ketika ada orang
seperti gua yang suka banget memamerkan dan menyodorkan hidangan lezat ketika hasrat
dan lapar lagi ditahan-tahan. Tempeleng aja, pasti akan diulang nanti,
tempeleng lagi. Ah tapi menambah-nambah pekerjaan rumah yang gak penting lagi. Tapi
tempeleng itu perlu, kembali membuat batas dan menegaskan hak untuk memilih
menu. Tidak apa-apa kan sudah bayar, dengan eksistensi dan
pertukaran-pertukaran lain yang tidak bisa dinilai secara kurs-kurs
internasional.
Susah emang kalau masih dan nyaman jadi bocah. Bocah kan
memang selalu berkumpul dengan bocah. Atau bocah di zaman sekarang itu adalah mereka yang
dahulu dipanggil “ketu”, kecil tua. Ah dunia bocah memang rumit, satus-satunya yang tidak
rumit adalah boci, baso aci.
Semakin semangat setelah makan, kenyang dan puas. Tapi kan
belum makan, masih lapar! Lapar yang dikompromi oleh diskusi. Sementara tidak
bisa diskusi karena semuanya sibuk semuanya terbebani oleh laparnya
masing-masing, ya kecuali kalau ada orang yang sudah selesai makan dan tidak
lapar lagi. Berbagai pertanyaan bisa dilibas, berapapun ronde bisa ditandingi. Tapi
kalau yang lagi lapar dipaksa diskusi, kasihan yang lapar gak makan-makan. Tidak
perlu lah menambah beban dan penderitaan, lempar saja kepada orang-orang kaya
yang lebih mampu dan tidak akan rugi, justru untung karena disukis. Simbiosis mutalisme
(mungkin). Sungguh perbuatan yang tidak bisa dimaafkan.
My apologies is deep as daniel ocean, which is a
real thief.
Ah gua benci romansa dan dramatisasi realitas dalam
fiksi. Sesederhana jalanin aja adalah narasi paling dekat untuk dinikmati. Tapi
yasudah hanya menambah beban dan memaksa kehendak yang tidak sepantasnya
dikehendakan. Jangan lah merepotkan orang lain.
***
Uh, terlalu lapar, hingga keroncongan. Padahal nasi melimpah ruah. Memang ini bukan sebaik-baiknya balasan.
Komentar
Posting Komentar