ANGIN MASA LALU

Start Up

Belum terpikirkan kalau ternyata sebuah drama korea bisa begitu menyeret gua dalam satu-dua-tiga hingga banyak perenungan dalam, tentang bagaimana seorang laki-laki lupa bahwa ia harus menunda sekaligus mengejar, peduli sekaligus egois, dan takut sekaligus berani untuk mendapatkan apa yang dia mau. Do-san dan Ji-pyeong adalah dua sisi koin yang dimiliki setiap orang di saku bajunya. Terkadang angin (masa lalu) itu datang, angin semenjana yang berhembus sejuk dan konstan. Membuai kulit gua dengan lembut, meraba seluruh permukaan kasarnya hingga menyusup ke dalam bayang-bayang imajinasi dan memori. Menarik kembali pertanyaan yang sengaja dipendam begitu dalam.

“Apakah gua berani mengambil kesempatan itu ataukah gua hanya bisa terpaku menyaksikan angin itu berhembus pergi –lagi?”

Atau ternyata pertanyaan itu hanya ada di kepala gua saja, tidak pernah nyata. Hanya kilasan yang telah lampau, yang terlalu lampau hingga tidak bisa dibedakan lagi mana halusinasi dan memori. Seketika pertanyaan ini semakin menjadi lebih dalam. Mempertanyakan eksistensinya sendiri.

“Apakah semua ini benar-benar ada?”

Kenangan itu, kesempatan itu, dan hasrat itu. Gairah yang sama, seperti ciuman pertama yang didamba-dambakan. Tapi apakah gua sendiri pernah mendapatkan ciuman pertama itu? Ciuman yang biasanya memiliki arti dan historinya tersendiri. Karena banyak kali gua hanya bergerak tanpa arah, seperti bukan manusia juga seperti bukan mesin. Terlihat nyata sebagai makhluk hidup namun terlalu mengikuti semua perintah. Yang aku ingat dari ciuman pertama itu begitu cepat. Begitu dingin, begitu hambar, bahkan bukan seperti angin semenjana ini. Gua bahkan tidak punya kesempatan untuk memejamkan mata, sekadar merasakan gairah itu. Meskipun begitu, setelah ciuman pertama itu sedikit-dikitnya gua bisa membanggakan diri sendiri di antara laki-laki yang lainnya. Hingga kemudian pemikiran negatif itu datang bahwa: jika ini ciuman pertamaku, apakah juga baginya?

Ah, rasanya tulisan ini semakin melebar ke hal-hal yang seharusnya tidak dibicarakan. “Oh kerapuhanku yang selalu mencari celah untuk meminta perhatian.”

                Angin itu datang lagi, bukan hanya sekali tetapi datang terus. Bukankah itu keganjilan yang teramat ganjil? Bukan lagi keistimewaan selain kesalahan. Perempuan itu datang lagi. Perempuan mana? Karena terlalu banyak perempuan. Hahaha bagimana bisa seorang berengsek ini begitu melankonis.

Tapi sepanjang riwayat cinta yang gua jalani, beberapa gua sadari betul perasaan itu. Beberapa perempuan ada pada tempat yang istimewa. Terlampau istimewa untuk dibawa dalam perjalanan dan petualangan gua yang teramat labil dan menakutkan. Hingga gua takut sendiri, takut melukainya dan takut sakit hati.

Kadang kala dalam berjuta malam perjalanan itu, gua duduk termenung. Memikirkan betapa indahnya satu perjalanan yang berat dan melelahkan jika didampingi oleh seseorang yang bisa di ajak berdiskusi lebih jauh. Bukan hanya seseorang yang bisa ditanyai sesekali dengan terbatas, seperti tentang pekerjaan, tentang perkuliahan, atau tentang goreng lainnya. Pada malam-malam itu perempuan itu kerap muncul, mungkin tertawa mungkin kasihan. Melihat gua yang dikenal kuat dan konyol, merajuk seorang diri mengharap-harap perhatian.

“Tidak, gua gak ngambek. Merasa sedikit hampa di tengah lautan yang tenang adalah hal yang biasa.” Mungkin begitu gua akan membantah.

Mencoba menarik kesimpulan berdasarkan asumsi umum tentang hidup yang sebenarnya belum benar-benar gua mengerti. Menolak-menolak dan menolak. Banyak hal telah gua abaikan perasaan orang lain dan perasaan sendiri. “Untuk apa?” Tentu untuk bersembunyi dari rasa takut. Lari dari kenyataan karena enggan sakit hati, padahal yang namanya cinta akan selalu ada sakit hati. Karena pada nyatanya cinta adalah fenomena yang berhubungan erat dengan hati manusia, bukan?

Ah, anehnya gua merasa sangat simpati dengan JI-pyeong. Bagaimana tidak? Dia terlantar sendirian, besar dengan secara keras. Tiba-tiba seorang nenek memberinya tempat bernanung, memberinya teman bercerita, dan memberinya satu kehidupan yang saat itu sangat nyata. Lalu tanpa sengaja kesalahpahaman itu terjadi, dan Ji-pyeong tidak sempat meminta maaf dengan baik. Ia kemudian pergi, terlanjur malu pada dirinya sendiri.

Bertahun kemudian angin itu datang lagi, kesempatan baginya untuk berdamai dengan masa lalu. Nyatanya ia terjebak lagi pada kesalahan yang sama. Mungkin ia terlalu takut, takut berharap terlalu jauh, kemudian kehilangan harapan itu karena kesalahannya lagi. Mimpi tentang keluarga yang membayangi motif perbuatannya terlalu menakutkan dan berat untuk dicapainya seorang diri. Ia tidak bisa meminta tolong pada Dal-mi, karena ia besar dalam kekerasan hidup. Itu juga yang membuat ia berpura-pura kuat dan keras di ruang publik, tetapi sebaliknya bersikap begitu lembut dan rapuh di hadapan Dal-mi. Seandainya ia mau membiarkan dirinya jujur dan menganis walau setitik pada Dal-mi saat itu, mungkin semuanya akan lebih mudah. Sayang seribu sayang jalan setapak itu telah jadi belantara hutan, dan jalan lurus itu telah jadi jalan berliku yang harus didakinya dengan penuh kerumitan.

Latar belakangnya yang begitu keras (yatim, hidup sendirian, berkerja sendiri hingga sukses) membentuk kepribadian yang tangguh dan enggan terlihat lemah. Lalu bagaimana sekarang? Lemparan bola ini akan kah ia pukul dengan baik? Out atau Home Run? Begitu juga dengan gua. Apakah angin ini akan gua tangkap? Apakah layar kapal akan gua buka untuk membawa gua ke masa depan (seperti judul latar musik Start-Up “Future”)?

Atau sekali lagi ini semua hanya halusinasi yang ada di dalam kepala saja?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ondel-Ondel dalam Dua Garis Biru (2019)

SURVEI KKN

KEHILANGAN