SRIKANDI

SRIKANDI*
Sudah cukup jauh aku pergi namun rasanya aku harus lebih cepat lagi, jadi kupercepat langkahku. Sementara itu suara derap langkah masih terdengar dekat di belakang, mereka masih mengikutiku. Langkah mereka semakin gaduh seirama dengan langkahku. Sejujurnya aku bingung harus bagaimana, perasaan takut, cemas, dan sedih lengkap jadi satu. Seolah-olah aku hanya berjalan lurus tanpa arah, mengindari sesuatu yang tak kumau.
Lalu kulihat ada dua satpam di depan, yang dengan cepat aku tuju. Namun kembali rasa takut itu muncul, aku takut dan bingung, apa yang mesti aku katakana. Suara derap langkah di belakangku hilang, aku semakin kalut. Hingga tiba-tiba mereka sudah menyuslku dan para satpam itu sudah menggiringku. Aku di UGD.
***
Semalam aku mimpi buruk. Masalahnya aku lupa tentang apa dan bagaimana, yang aku sadari aku bangun dengan cemas, kaget, dan penuh keringat. Sekarang aku di jalan menuju acara buka bersama teman-teman, Marvy, Sati, Tesi, dan Nadi sudah menunggu di lokasi. Hari ini kurasa lelah dan tak bersemangat, ingin rasa bisa berbaring santai di atas kasur sembari membayangkan hal yang enak-enak. Namun apa daya seharian itu aku memilki banyak urusan di kampus.
Aku sampai mendekati magrib, kulihat di balkon rumah Sati semua sudah siap. Baik takjil dan teman-teman seharusnya sama-sama nikmat, tapi lagi-lagi aku sedang tak bersemangat. Demam, flu, dan pegal-pegal melanda tubuhku sehingga rasanya malas bertingkah lebih, aku merasa bersalah pada mereka. Tak begitu lama, azan magrib berkumandang. Kami pun berbuka, sembari berbuka kami mengobrol tentang masa lalu, kehidupan SMA yang menyenangkan. Cerita lucu mendominasi perjalanan kami, atau kalau kita memang sudah menerima kenyataan sesedih apapun sesuatu pasti akan kita tertawakan juga (?). Intinya semua cukup bersenang-senang, hingga pukul tujuh tiba-tiba Marvy undur diri.
Dalam hati aku berpikir, “Yah, si kampret gua ditinggal. Aduh mana gua lagi ga mood banget, males ngomel. Pengen pulang tapi masih lemes. Yaudah lah, biarin dia pulang.
Marvy pun pulang. Kami yang tersisa masih berbincang-bincang, hanya saja aku lebih banyak mendengarkan. Setelah puas bercerita, kami mulai merasa lapar. Berhubung aku satu-satunya cowok dan sedang malas untuk melakukan apapun, jadi kami memutuskan untuk delivery makanan. Cukup ternyata untuk sekadar memilih menu makanan, setelah lama menunggu baru kami bisa segera memesan.
Tiba-tiba handphoneku berbunyi, dan itu Ibuku. Tidak biasanya ibu meneleponku, dan teman-temanku tahu bagaimana hubunganku dengan orang tuaku, jadi ini agak janggal. Kuangkat telepon itu tidak terlalu lama, cepat saja, aku mengerti pesannya lalu segera kumatikan. Kini mereka bertiga menantapku dengan penuh tanda tanya.
“Bokap gua kecelakaan, sekarang ada di UGD. Gua disuruh ke sana bawa temen. Ada yang bisa temenin gua ke sana, gua mau jemput, nanti yang ikut tolong bawain motor gua aja.” Jawab gua atas rasa penasaran mereka.
Mereka dengan sigap berdiri dan membalas. “Yaudah kita semua ikut ke sana.”
Sati dan Nadi bergegas merapikan bekas piring yang kami gunakan, sementara Tesi langsung membawakan ranselku. “Tenang Lik.” Katanya.
Setelah ruang atas rapi Sati menuntunku turun dan berpamitan dengan keluarganya. Tasya masih membawakan ranselku dan bersiap di depan. Sementara itu Nadi sudah stand by di atas motornya dan siap untuk tancap gas. Sejenak aku berpikir, “Loh nih anak loncar ya dari balkon, kayak jagoan di film-film koboi. Perasaan gua gak liat dia turun?”.
Di jalan menuju rumah sakit aku sangat khawatir, apalagi aku membawa teman-teman perempuan semua. Aku tidak sempat berpikir tadi, sejujurnya aku sudah terlanjur binung. Padahal di telepon Ibuku berkata, “Tolong jemput Ayah, ajak temenmu cowok satu, motor ayah rusak nanti kalian bawa pulang.” Tapi ya sudah nanti pasti bisa aku akali di sana.
Di tengah-tengah perjalanan menuju rumah sakti dengan perasaan bingung dan khawtir itu aku merasa kesal karena melihat sebuah nama perusahaan yang menjengkelkan. Raja Gadai. Sangking kesalnya aku bilang ke Sati yang bonceng di motorku.
    “Ti, liat tuh kocak banget ya?”
    “Apa?”, kata dia.
    “Masa namanya, Raja Gadai.”
    “Terus kenapa kalau namanya Raja Gadai?”
“Ya gak keren banget lah, masa ada Raja Gadai. Gak kebayang ada Raja gadein surat tanah kerajaannya, untuk beli perabotan rumah tangga.”
“lho iya ya, terus nanti kalau anaknya mau nikah dia mau gadein apa? Perabotannya yang hasil gade tanah? Sewa tenda kan mahal, apalagi kalau pake dangdut.”
“Namanya juga Raja Gade”.
Tanpa terasa kami sampai di rumah sakit setelah seru membicarakan si Raja Gadai. Kami berempat memakirkan dua motor bersama (masa enam belas, sekalian aja jadi tukang parkir kalau gitu).
Kami bergegas menuju UGD. Aku sudah jauh dari rumah Sati ke sini, membawa mereka bertiga. Sekarang aku jadi takut, di dalam kepalaku, aku membayangkan banyak hal. Aku berjalan dengan pikiran menerawang, Tesi yang jalan dibelakang menepuk pundakku.
    “Lik, gapapa?” tanyanya.
“Gapapa Tes, ayo.” Balas gua ke Tesi sambil terus berpikir. “Ngomong-ngomong nanti gimana Nad? Gua gangerti gimana jenguknya, belum pernah soalnya.” Tanya gua.
    “Bapak lo di UGD kan? Yaudah gimana Ti?”
    “Et, di tanya malah nanya balik lu Nad.” Sahut Tesi.
    “Yaudah kita tanya satpam itu aja.” Ajak Sati.
Setelah bertanya pada satpam dan perawat di rumah sakit, kami pun sampai di UGD. Kulihat Ayahku tengah terduduk di ranjang rumah sakit dengan celana dan kakinya yang sobek-sobek. Berhubung dokter mengizinkan, Ayah ingin langsung pulang. Namun melihat aku datang membawa tiga perempuan ke ruang UGD, ayah terlihat kecewa. Aku takut ayahku salah sangka dan berpikir, bahwa mereka datang untuk meminta pertanggungjawabanku. Aku pun coba menjelaskan situasinya mengapa mereka ikut, namun ayah menepuk pundakku. Dia pun berbisik, “Bapak bangga nak.”
    Kampret”, kataku dalam hati.
Aku tidak terlalu banyak bertanya tentang kejadian kecelakaan, hanya keadaan dan perasaan ayah yang kutanyai. Kami sekarang bingung bagaimana membawa Ayahku pulang, lukanya disepanjang kaki jadi akan sulit kalau duduk di motor. Apalagi motor ayah harus dibawa pulang, mereka para perempuan tangguh ini tak ada yang bisa bawa motor non-matik, sedang mereka juga tidak bisa membonceng ayahku. Aku kebingung, sempat terpikir dalam kepalaku seandainya Marvy tidak pulang duluan tadi, pasti ia bisa membantuku di sini dan aku tidak perlu merepotkan tiga gadis perawan yang tak bisa pulang larut malam ini. Namun pemikiran itu langsung ditepis ketika, ibu yang menabrak ayahku menawarkan diri untuk mengantar pulang. Akhirnya kami pun berangkat lagi ke rumahku dengan formasi, Sati menemani Ayahku di mobil, Aku membawa motor ayah yang rusak, Tesi membawa motorku, dan Nadi pulang jalan kaki.
Malam itu jalanan cukup ramai. Kemacetan terjadi dibeberapa titid, eh maksudnya titik. Namun sykur kami semua sampai di rumahku tidak terlalu larut. Ibu sudah menunggu di teras sejak lepas isya dan ketika kami sampai ibu menyambut kami. Melihat para srikandi ini datang, ibu menegurku dengan keras.
    “Mama bangga sama kamu, Bang.”
    KAMPRWETTT!!!



*lebih dari itu, aku sangat berterima kasih pada para Srikandi yang sangat bisa diandalkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ondel-Ondel dalam Dua Garis Biru (2019)

SURVEI KKN

KEHILANGAN