CERPEN 4


Siapa Jahat?
Aku terbangun di sebuah gang yang kotor.
"Hei bangun bung, untung kau tidak mati kedinginan." ujar seseorang sembari menariku berdiri.  Aku tidak mengenal siapa dia, aku bahkan tidak ingat bagaimana aku bisa tertidur di tempat kumuh ini.
"Di sebelah tong sampah itu aku tertidur,  kupikir kau sudah pulang, ternyata kau berada tepat di seberang tempat tidurku." ujarnya lagi sambil menunuk ke suatu arah.
Sambil menuntun tubuhku orang ini terus asik bercerita,  awalnya iya bercerita di mana ia tidur semalam, bagaimana posisinya, kemudian tentang mimpinya semalam. Namun tidak satupun menyinggung bagaimana dia, terutama aku,  bisa sampai teler sedemikian rupa.
"Semalam kita minum terlalu banyak, kau mabuk duluan dan mulai memukuli si tua Piko.  Kau ingat? Orang tua pemabuk di meja pojok, dia pemilik bar itu, dungu. Para penjaga mengeroyokmu seperti monyet berebut kacang, kemudian melempar kita ke luar." tambahnya seperti memahami isi kepalaku.
***
Sampailah aku disebuah apartemen yang cukup mewah, yang aku yakin bukan milik orang itu. Aku duduk di ruang tv yang nyaman, sofa putih yang empuk menghadap sebuah televisi besar lengkap dengan home theater, dan lihat, sebuah game console, benar-benar sebuah ruang tv yang aku idam-idamkan sejak kecil. Hei, lihat sebuah lukisan besar di dinding, karya seorang pelukis digital yang aku kenal. Luar biasa, selera orang ini sama denganku. Orang yang tadi menolongku kini muncul dengan dua piring panekuk dan dua gelas susu. Disodorkannya sepiring pada ku.  "Makanlah." katanya.
Ku mulai dengan meneguk susu yang ada, itu sangat menyegarkan. Kemudian ku potong panekuk itu sedikit dan ku selundupkan pada mulutku, kukunyah lalu kutelan. Orang itu cepat sekali makannya, tidak butuh waktu lama ia sudah selesai.
"Namaku Zen, maaf atas kejadian semalam,  aku tidak bisa berbuat banyak, aku harap aku bisa membalas kerugianmu. Aku sangat kacau semalam, aku baru dipecat karena berkelahi dengan manajerku. Kemudian kekasihku lebih memilih manajer itu ketimbang aku. Aku merasa cocok ketika berbicara denganmu di kereta, begitu saja, kita lalu minum-minum. Kemudian kita jadi terlalu mabuk dan semua mulai kacau." katanya padaku.
Sebenarnya aku tidak ingat apa-apa sejak semalam, namun menurut ku itu semua tidak masalah. Yang terpenting aku harus ke kelinik setelah ini.
"Kau sudah selesai makan, bung? Sini biar aku ambil piring itu. Kau mandilah, setelah ini kita obati luka mu." katanya seolah tau isi kepalaku.
***
Aku berjalan menuju sebuah kamar mandi. Dalam tiap langkahku, aku merasa aneh. Seolah aku mengenal lantai ini, langit-langit ini, dan ya, meja kecil di samping pintu kamar mandi ini. Aku seakan mengenal betul meja ini. Tanpa ragu ku buka laci di meja itu, dan ku temukan sebuah surat. Riki Sardi. Ya itu lah namaku. Sekarang aku sadar bahwa ini adalah rumahku. Namun siapa Zen ini? Pikir ku keras. Kemudian ku teringat uang kertas di saku celanaku, sebuah uang kertas lusuh yang diremas-remas. Semalam aku membayar sesuatu,  si Zen ini, kemudian membuatku mabuk dan memukuliku di gang gelap. Aku tidak mengenal dia, namun, ya di kereta kami bertemu, dia menghipnotisku dan membawaku ke sebuah bar. Tunggu itu bukan bar, tapi apotik. Ya apotik yang dimiliki seorang pria tua. Sialan. Aku tidak tau kenapa dia membawa ku ke rumahku sendiri. Tapi satu hal yang pasti, dia adalah orang jahat. Dengan segera kuraih sebuah pajangan porselin di atas meja. Kumengendap-endap di belakangnya, tepat ketika ia sibuk mencuci piring. Dengan keras kupukul ia hingga porselin itu hancur. Darah mengucur dari kepalanya, aku panik dan kupanggil polisi ke rumah. Selanjutnya engkau tau sendiri ia meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.

Polisi yang sedari tadi menyimak penjelasanku kini mulai beranjak. "Baiklah, untuk saat ini sepertinya cukup. Silahkan pulang dan beristirahat. Selanjutnya biar kami kabari."

Sebulan sudah berlalu. Polisi tidak mengabari ku apa-apa. Namun setiap hari aku duduk di ruang tamu, makan di dapur, dan pergi keluar rumah aku manjadi takut. Semuanya begitu membuatku trauma. Aku pun memutuskan pergi ke psikiater. Tujuh hari terapiku tidak berjalan baik, pada hari kedelapan psikiaterku menganjurkan agar aku pindah dari sana. Kupikir itu memang hal yang tepat. Sesampainya di rumah, kuhubungi agen properti dan kujual rumah ini. Tidak butuh waktu lama,  dua minggu selanjutnya aku pun telah meninggalkan rumah itu.
***
Kini aku hidup di sebuah rumah kecil, tepat di kaki gunung dan dekat dengan sebuah danau yang indah. Setiap hari aku duduk di tepi danau dan menikmati hidup. Aku begitu bebas. Kadang aku merasa geli jika harus mengingat-ingat bagaimana aku mempengaruhi dan membunuh seorang pria rentan, kemudian membalik cerita kepada seorang polisi amatiran. Rasanya aku ingin tertawa jika memikirkan polisi itu menyesal dan mulai memburuku saat ini. Ha... Ha... Ha...

Malik Qilam
Ciputat, 28 Oktober 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ondel-Ondel dalam Dua Garis Biru (2019)

SURVEI KKN

KEHILANGAN