CERPEN 3
Pamulang:
Kenangan
Pamulang suatu malam. Terduduk aku, bersimpuh di atas matras hijau yang
sudah tidak remaja lagi. Aku baru saja menutup pertemuan malam ini, anak-anak
muridku yang berusia sepuluh sampai lima belasan tahun memohon diri untuk
pulang. Sedangkan muridku yang lebih tua, seperti biasa, merapikan
matras-matras sisa latihan aikido mereka. Sepuluh tahun lalu aku sama
seperti mereka yang belajar di sini, dibanting, dipukul, dan ditandingkan satu sama lain. Namun, seiring berjalannya waktu, yang dibanting pun membanting, yang dipukul mulai memukul, dan yang muda naik menggantikan yang tua.
Penghabisan kerja itu aku tidak langsung pulang. Aku ada janji, dengan
beberapa kawan SMA tepatnya. Jadi lekas-lekas kubersihkan tubuhku dan bersalin pakaian, tidak butuh
waktu lama, setelah rapi aku pun berangkat. Sepuluh menit. Aku sudah sampai di sebuah
kedai makanan, tidak terlalu besar tempatnya karena memang bukan restoran
mewah. Tujuh meja tersusun rapi dengan empat di antaranya terisi muda-mudi sejoli ketika aku masuk, namun tak
kutemui kawananku di sana. Seorang pelayan menyapaku, kubilang sudah
pesan tempat. Seolah paham, sang pelayan pun memanduku ke lantai dua dengan
ramahnya. Menapaki sebuah tangga berputar, seolah membawaku pada putaran lorong waktu.
Sesampainya kulihat sosok kawananku, antara lain: Daniel si pelaut, Aryo si anak emas, Santi si perawat seram, Tika si penyiar lesu, dan tentu Musa si mahasiswa kacau.
Mereka berlima duduk memutari sebuah meja bundar. Dua gelas susu cokelat, satu kaleng soda, segelas thai-tea, dan satu gelas susu jahe lengkap dengan dua porsi roti bakar menghiasi meja itu. Tidak
ada rokok di sana karena memang tidak ada perokok di antara mereka. Sudah lama
rasanya tidak berkumpul seperti itu, sejak hari-hari menuju Ujian Nasional
SMA. Rasanya saat itu kami selalu bersama, bukan hanya
untuk belajar namun juga untuk bermain, dan contek-mencontek. Saat
SMA, kami adalah anak-anak nakal yang fasih berdalih dalam menutupi kesalahan. Rasanya banyak sekali
kenakalan-kenakalan itu, dan biarlah cukup kami, semua kenakalan itu milik kami
dan biarlah kami juga yang bertanggung jawab di hadapan kami-kami ini kelak.
Aku duduk di samping bung Musa, dan ia pun memulai percakapan. "Nah, udah lengkap
nih. Gimana, gimana, apa kabar?" tanya ia penuh semangat.
Daniel yang juga berada di sampingnya pun ditepuk bersahabat. Seolah itu sudah
menjadi sinyal, Daniel pun menjawab. "Wah mantap, bro. Puji tuhan, aku baik." jawabnya
singkat.
"Ya, samalah aku juga baik, Hamdalah, Hamdalah." kata Aryo
menyusul.
Tika dan Santi hanya saling melihat. "Ya, kita juga baik, ya, kan, San?" seru Tika kepada Santi, sedangkan Santi hanya mengangguk.
Mereka sudah tau mengenai kabarku, aku selalu baik, jadi ceritaku lewat
saja.
Kemudian Musa beranjak pada pembicaraan selanjutnya mengenai “Petualangan yang sudah kami jalani”, dan ia mulai menceritakan keputusannya
untuk berhenti kuliah. Bukannya bersimpati, kawan-kawanku
justru tertawa menanggapinya. Seolah itu bukanlah hal yang mengejutkan, karena
memang sains murni bukanlah jurusan yang cocok untuk seorang Musa yang praktis.
Daniel pun bercerita juga, pada tahun ini ia berhasil lolos seleksi
taruna akademi pelayaran. Kami yang mendengarnya merasa senang dan bangga, maka kami pun
bersulang layaknya bangsawan-bangsawan eropa ketika menang perang. "Untuk Daniel." kata Musa diikuti oleh kami semua, serta disusul oleh dentingan gelas dan cangkir.
Aryo merasa tidak ada yang menarik untuk saat ini jadi dia hanya berkata,
"Untuk
saat ini biasa saja, tak ada yang seru, skip aja deh ceritaku". Begitu pula Santi.
Tika masuk dengan ceritanya, “Aku baru saja
diterima magang, di stasiun televisi ternama, lho” serunya pada kami. Dia begitu bangga, menceritakan betapa
melelahkannya persiapan-persiapan magangnya kepada kami semua, namun kami bangga mendengarnya.
Di
tengah-tengah penuturan Tika, Santi berseru juga “Aku juga ada nih cerita”.
Santi menceritakan pengalamannya dalam praktek menyuntik dan mengambil darah.
Sempat sebelumnya ia salah suntik sehingga teman-teman prakteknya kalang kabut,
sejak itu tidak ada orang yang mau menjadi relawan prakteknya. Perbincangan tersebut berjalan alot, terutama ketika pembicaraan
berujung lelucon dan topik-topik mulai berlompatan ke masa lalu. Seakan kami
menjelajahi waktu bersama-sama, dan tidak mau kembali pada waktu ini.
***
Dua jam berlalu tanpa terasa, roti bakar sudah habis bersama dengan segelas susu jahe. Perbincangan masih tetap berlangsung dengan seru, hingga pesanan
kedua datang ditanggung Aryo. Musa bercerita, ketika ia pindah ke pamulang
ini. Ia tidak tahu nama tempat ini, yang belakangan dia kenal sebagai pamulang. Pembicaraannya kembali berubah, kali ini ia
mengungkapkan rasa penasarannya dengan sejarah pamulang.
"Omong-omong soal pamulang, kalian tahu asal-usul pamulang?" tanya Musa.
Tika dan Aryo menjawab "Tidak tahu, kenapa?" Daniel dan Santi pun yang
sejak lahir di pamulang, tidak mampu menjawab pertanyaan Musa.
"Nah, ini yang jadi permasalahan kita sebagai penduduk kota. Kita justru
tak
tahu-menahu perihal sejarah tempat tinggal kita." Balas Musa.
"Kalian tahu tidak? kalau-kalau sejarah pamulang itu ternyata rumit dan berat." tambah Musa.
Yang lain menjadi diam dan mulai mendengarkan.
"Memang ada apa, Mus?" tanya Daniel.
"Hmm... Jangan deh."
"Ish, tuh kan, bikin penasaran, kenapa sih?" sahut Santi.
"Tahu, kebiasaan banget ini orang. Cerita sekarang, atau kujitak!" Kata Tika, sementara Aryo menyimak
saja.
"Oke kita akan membahas sejarah Pamulang. Tapi supaya pemahaman kita lengkap, kita juga, sedikit menyinggung sejarah Tangerang
ya?" tanya Musa meminta persetujuan.
Dengan sigap mereka menjawab, "Ya!".
"Oke kita mulai membahas sejarah Tangerang. Tapi,
teman-teman, untuk membahas sejarah Tangerang artinya kita, juga, harus membicarakan sejarah Banten,
gimana?"
Teman-teman yang masih penasaran dengan cepat menyetujui.
"Sejarah Banten itu teman-teman, sangat berhubungan dengan sejarah
kehidupan masyarakat Jawa. Jadi penting bagi kita membahas perihal sejarah
masyarakat Jawa ini."
Teman-teman masih terus memperhatikan.
"Oke kita akan membahas sejarah Jawa.
Tapi teman-teman, membahas sejarah berarti kita juga harus membicarakan
sejarah Indonesia yang telah menghadapi berbagai gejolak....."
"WOI!" potong Aryo yang dari tadi fokus menyimak. "Sejarah Pamulang, Tangerang,
Banten, Indonesia, habis ini ..."
"Sejarah ASEAN, sejarah Asia, sejarah dunia, sejarah bumi, sejarah
galaksi, dan terus-terus, supernova dan jagat raya." potong Musa dengan terkekeh-kekeh.
"Wah, sialan baru sadar kita dikerjain." kata Tika sejurus
menjitak kepala Musa. Daniel yang melihatnya tertawa terbahak-bahak.
"Kan di awal saya bilang, 'sejarah Pamulang itu rumit dan berat', maka dari itu jangan dibahas." sahut Musa
kemudian.
Aku yang menyaksikannya hanya bisa tertawa, aku tidak mampu berkata apa-apa
lagi, hanya tertawa geli saja melihat polah tingkah Musa.
"Sejak dulu, ada-ada saja perbuatan orang ini." ujar Daniel dengan tertawa lebar.
Rasa kesal terlihat jelas pada Aryo yang sedari tadi berusaha fokus. Semua
orang di lingkaran meja itu terhanyut dalam tawa, baik pada lelucon Musa maupun
pada diri mereka sendiri yang sukses terbodohi. Hingga beberapa lama tertawa
pun membuat kami lelah dan saling menatap satu sama lain. Hingga
tiba-tiba, "HAHAHAHA...." Santi baru tertawa. Kami yang tersisa hanya
diam.
Betapa lucunya saat-saat itu, sesuatu yang teringat jelas dalam benakku
sebagai seorang pelaku. Tanpa terasa sudah tiga puluh menit kini aku duduk
sendirian di sebuah meja bundar, mengingat-ingat kejadian lama yang masih
mengasyikkan. Aku sendirian di kota ini, tersisa menunggu angin membawa ku
pergi, berkelana seperti para kawananku. Namun kurasa, aku tak mampu. Biarlah angin itu menerpaku, aku
ingin tetap disini, mengenang.
"Driiing.... Driiing...", Itu suara handphone ku. Ku angkat telepon masuk itu dan terhubunglah aku dengan Internet, bersapa salam dengan
kawan-kawan ku yang tercerai berai oleh jarak.
Di kedai ini, di meja ini, aku tidak
sendirian. Karena kenangan adalah kawan-kawan yang dengan setia menemani
aku dan membentuk aku menjadi sosok yang lebih hebat.
Malik Qilam
Serpong, 7 November 2017
Komentar
Posting Komentar