CERPEN #2



Expedisi Datar
Hari ini sekali lagi Pemerintah melempar sebuah Kapal ulang-aling ke angkasa untuk misi kemanusiaan, alih-alih mencari pelanet baru untuk manusia. Daratan yang selama ini manusia diami sudah di ujung tanduk, laut meluap, air tawar menjadi langka, dan binatang sudah punah. Sisa-sisa kehidupuan bisa bertahan sejauh ini berkat penemuan sebuah metode baru yaitu Sleeping Beauty, dimana  manusia sengaja dibius agar tertidur hingga ribuan tahun lamanya dan kemudian dibangkitkan lagi untuk melanjutkan pencarian planet, galaksi, lubang hitam, atau apapun itu yang mungkin dapat memberikan tempat layak bagi manusia untuk berkembangbiak.
Di sebuah pangkalan militer dan pusat perkembangan teknologi, Nurman baru saja dibangunkan dari tidur 300 tahunnya. Terakhir kali dia tidur disana, pangkalan itu adalah sebuah pangkalan megah tersembunyi di balik pegunungan vulkanik dengan padang gembala yang terhampar luas, namun saat ini tempat tersebut tidak lebih dari sebuah halaman belakang kontrakan murah milik neneknya. Seperti biasa dia akan menjalani serangkaian tes  pasca kebangkitan yang kerap menimbulkan efek hilang ingatan sementara, bahkan pernah di kebangkitan sebelumnya ia lupa bagaimana caranya berjalan, hal itu benar-benar menyulitkannya sehingga ia butuh seminggu untuk pemulihan. Seperti kebanyakan prajurit lainnya, setelah beberapa hari menjalani tes dan pemulihan pasca kebangkitan, ia dan beberapa orang sudah harus pergi menerima sebuah misi. Namun kali ini misi yang ia dapat agak sedikit berbeda, yaitu pergi menembus kutub utara dan mencari daratan titans –yang mana lebih dari 2000 tahun yang lalu orang-orang pendapat dunia di balik kutub utara hanya lah sebuah lelucon belaka.
Telah berdiri di hadapannya seorang professor yang akan menjelaskan teori Flat Earth, dimana menurutnya bumi itu datar dan kutub utara adalah poros dari perputaran alam semesta. Si Professor juga menerangkan mengenai prediksi-prediksi adanya daratan di kutub utara yang lebih luas, penuh dengan tumbuhan baru, binatang baru, dan kaya akan sumber daya alam. Namun faktanya hingga saat ini kutub utara tidak lebih dari sebuah benua beku yang mengapung, cuaca di sana begitu dingin sedingin dinginnya sampai-sampai seorang peneliti pernah mengatakan “Jika Anda menjatuhkan sebatang baja, benda itu akan pecah seperti gelas, dan jika Anda mengeluarkan seekor ikan dari lubang es, lima detik kemudian ikan itu akan menjadi patung”. Karena kondisinya yang begitu ekstrem tidak ada makhluk hidup yang mampu bertahan, kendati lingkungannya tanpa kehidupan daratan disana luar biasa indah –adakalanya didalam kegelapan malamnya cahaya aurara menari-nari di lelangitan– bagai berada di dunia lain. Penjelasan professor tersebut begitu memukau, satu persatu sanggahan mengenai Flat Earth berhasil dijawab. Semua orang di ruangan itu mengangguk seperti bayi seraya menyetujui penjelasannya, namun tidak dengan Nurman. Nurman tidak bisa begitu saja menerima semua penjelasan itu, selama ini berjuta-juta Kapal sudah diterbangkan ke langit gelap untuk merekam tatasurya setiap harinya kemudian kembali dan menunjukan hasil yang sama yaitu bentuk bumi bulat bundar bukannya datar –kendati demikian Nurman tetap diam.
***
Di hari selanjutnya setelah rapat operasi dan briefing selesai dilaksanakan, mereka sudah siap menjalakan misi penjelajahan itu. Enam orang berangkat menggunakan sebuah skyship amphib dengan teknologi paling canggih, bajanya begitu tebal dan didesain sedemikian rupa –dengan tambahan mesin-mesin– untuk menjaga suhunya tetap normal, dilengkapi dengan tiga buah fuel tank yang tidak lain berfungsi sebagai bahan bakar mesin transportasi dan mesin penjaga suhu secara terpisah, serta sumber energi cadangan; seorang Komandan ekspedisi, si Professor dan asisten perempuannya, Nurman sebagai pilot, serta dua orang tim medis –yang diketahui bernama April dan Zia– siap melakukan ekspedisi. Perjalanan mereka jauh menyebrangi daratan tandus dan menyengat, barulah lima hari kemudian mereka sampai di hamparan air asin yang berbau amis –bumi pada saat itu memang sudah berubah daratannya menjadi tandus dan kering sementara disisi lainnya hanyalah lautan yang tak berujung. Mereka mendapatkan tantangan dalam perjalanan ini, hujan badai yang besar disertai tembakan acak petir yang tak pernah berhenti memaksa mereka untuk turun dan mengambil jalur air –kondisi iklim di dibumi pun sudah benar-benar berubah ekstreme akibat dari global warming yang sudah berkelarutan. Melanjutkan perjalanan melalui perairan bukan berarti mereka akan lebih aman, berminggu-minggu mereka mengarungi lautan dengan jumantara beramukan badai seolah berlangsung selamanya, ditambah ombak besar yang bergulung-gulung membuat perjalanan itu jauh lebih mencekam –kendati begitu masih lebih baik ketimbang harus mati tersambar petir.
Ombak raksasa datang memburu terpontang-panting kapal mereka dibuatnya, melihat lautan berguncang bagai sebuah bak air di tending mereka terpaksa menembus lantai air dan menyelam kedalam gelapnya samudera. Di dalam sana begitu gelap seolah mereka baru saja memasuki alam lain –alam dimana roh-roh terjebak diantara dua dunia, sementara diatasnya mereka terlihat letupan-letupan cahaya alih-alih petir yang kilatannya tertahan  di permukaan air, memberikan kesan yang mengerikan seolah laut itu tidak membiarkan sedikit pun cahaya masuk –dan menerangi jiwa-jiwa yang tersesat dan putus asa. Seminggu sudah mereka menyelam bergerak menuju kesebuah titik yang berkelip di dashboard kapal, namun badai tak urung juga. Setelah bertahan menunggu langit cerah mereka juga harus bertahan melawan rasa takut dan bosan yang kerap kali hadir membentuk keputus asaan, oleh karena itu komunikasi antara sesama lah satu-satunya hiburan dan media agar mereka tetap terjaga kewarasannya.
***
“Katakan pada ku professor jika bumi itu datar, bagaimana kau menjelaskan kapal yang bergerak meninggalkan pelabuhan, berjalan semakin jauh, semakin kecil hingga menjadi titik lalu menghilang seolah tenggelam dalam laut?” Celetuk Nurman kepada sang Professor saat menikmati perjalanannya. Bukannya menjawab si professor malah tersenyum kucing, lalu dia melempar sebuah perumpamaan lain. Ia menggelindingkan sebuah pena di atas meja, kemudian Nurman diminta melihat pergerakan pena itu dari sisi yang searah, hingga dilihatnya pena itu menjauh dan menghilang. Si Professor menegaskan jika meja ini datar bukan bundar namun apa yang Nurman lihat sama persis dengan perumpamaan kapal pada bumi bulat, lalu dia kembali menjelaskan jika hilangnya kapal dari pandangan bukan karena bumi itu bulat, melainkan karena jarak pandang manusia terbatas, serta titik hilanganya objek dari pandangan mata yaitu dari bawah ke atas oleh karena itu objek terlihat seperti tenggelam. Nurman mengakui jika penjelasan si professor cukup masuk akal, namun nurman masih belum percaya. “Baiklah, lalu katakan padaku prof, bagaimana dengan rotasi bumi dan matahari yang terbit-tenggelam jika bumi itu tidak bulat?”
“Bumi berputar mengelilingi matahari adalah sebuah omong kosong nak, matahari yang memutari bumi. Katakana lah jika bumi dengan diameter yang begitu besar melakukan perputaran dalam 24 jam, maka berapa kecepatan putaran bumi seharusnya? Jika memang bumi berputar pastilah kecepatan bumi begitu cepat, sangking cepatnya ketika sebuah helikoper terbang maka ia sudah tertinggal dengan pergerakan bumi itu sendiri.” Untuk kedua kalinya jawaban si professor cukup masuk akal bagi Nurman, kendati demikian Nurman masih belum percaya. Meskipun masih banyak pertanyaan dalam benaknya, ditahan pertanyaannya itu ketika melihat sang Professor kelelahan, sebagai gantinya diminta si professor itu untuk istirahat. Sebulan lebih mungkin sudah mereka lalui dengan menerobos kegelapan yang pekat, persediaan makanan semakin menipis membuat mereka harus berpuasa.
“Itu adalah bungkus ke lima yang kau makan hari ini Zia, apa kau ingin kita mati kelaparan di dalam sini.” Celetuk Nurman saat melihat Zia –salah tim petugas medis– berkudap biscuit.
Zia tersedak seolah baru saja kepergok mencuri, “Maafkan aku, aku hanya tidak tau apa yang harus aku lakukan saat ini.” sahut Zia menyesal.
“Tidurlah sobat, setidaknya simpan mana mu untuk hari esok.”
“Baiklah, mungkin sebaiknya aku pergi tidur.” sahut Zia sembari masuk ke kamar.
“Kau juga sebaiknya tidur leutnant,aku sudah cukup istirahat hari ini biarkan aku gantian jaga.” timpal sang Komandan yang baru kembali dari istirahatnya.
Sang Komandan sekarang duduk di kemudi –menggantikan Nurman yang sudah berjaga seharian– mengamati kemana Kapal ini  melayang, menurutnya perjalanan ini terlalu tenang –meskipun tidak tenang sama sekali di atas sana–  untuk seorang veteran perang seperti dia. Dibukanya sebuah ponsel tua –yang mungkin sudah sama tuanya dengan dirinya– dilihatnya foto seorang perwira gagah bersama seorang wanita cantik dan sebuah bayi. Disentuhnya layar handphone tersebut dengan jarinya, sedetik kemudian muncul sebuah notifikasi bertuliskan Robby, Fika, dan Robby Junior lengkap dengan sebuah note singkat.
Dad, ini cucu mu. Aku harap dia bisa menjadi seorang dokter kelak, jauh dari kehidupan kasar seperti yang kita alami, hahaha.-Leutnant Robby.
Setitik air menggumpal di matanya, kemudian jatuh dan membasahi hidungnya berjalan turun membasahi bibirnya. Namun pria tua itu tidak akan membiarkan dirinya bersedih lebih jauh, bahkan seisakpun tidak akan dia keluarkan. Anaknya telah mati 56 tahun yang lalu dalam operasi penyelamatan, sedangkan menantu dan cucunya masih tertidur pulas tanpa mengetahui bahwa kini mereka yatim. Penyesalan begitu menggerogoti hatinya, pikirnya dia yang jauh lebih pantas mati saat itu bukannya seorang ayah dari cucunya yang lucu. Namun bagi ia tidak ada gunannya menyesal, yang terpenting sekarang ialah menemukan tempat baru di belahan alam semesta ini agar cucunya bisa hidup dengan layak. Di saat komandan tua itu tenggelam dalam lamunannya yang sendu, mesin dihadapannya berkedip dengan cepat. Tiga kali menyala singkat dan tiga kali menyala panjang.
Dilihatnya sesuatu berkelip pada radar kapal, sesuatu yang semakin mendekat –sesuatu yang sangat besar– hingga akhrinya dia sadar bukan sesuatu yang mendekat namun mereka yang mendekati sesuatu. Ketika mereka semakin dekat dan semakin jelas apa yang hendak mereka hantam, dengan sigap ditariknya tuas kemudi hingga Kapal menukik tajam menanjak dihadapan sebuah dinding besar dan dingin, posisi Kapal yang menukik vertical begitu mengguncang seisi Kapal. Kecepatan penuh dari tarikan gravitasi yang berlawanan dengan dorongan roket Kapal, membuat lautan yang dalam dan gelap ini seolah menarik mereka untuk tinggal selamanya didalam sana. Nurman yang terbangun juga langsung menyentak kemudi untuk membantu sang komandan, sedangkan sisanya menjerit ketakutan hingga paduan suara mereka mampu memekakan telinga. Kapal melesat memecah ketenangan air dengan kecepatan penuh –melarikan diri dari kegelapan samudra yang terkutuk– disambut jeritan mereka semakin keras, mereka mendekati permukaan air hingga kemudian kesunyian menyambut mereka setelah berhasil keluar dari dalam gelapnya lautan.
***
Kapalnya melesat menuju langit –meninggalkan hamparan laut luas, terbang diatas pegunungan es yang panjang dan mebekukan. Dibawah berganti menjadi daratan beku yang tertutup salju, bagaikan ada sebuah permadani putih yang terhampar jauh menutup horizon, begitu putihnya hingga mereka bagai terbang diantara dua langit –karena tidak bisa membedakan mana awan dan mana salju yang dingin dan mematikan. Rasa takut dan rasa putus asa sekarang berubah menjadi rasa takjub yang luar biasa, senyum merona menghiasi pipi April dan si Asisten professor –mereka berdualah wanita paling pemberani yang memilih ikut dalam ekspedisi mustahil.
“Apakah kita bisa hidup disana Professor?” Tanya Zia disela-sela decap kagum.
“Sayangnya tidak bisa anakku, sama sekali.” Balas Professor singkat, dengan sedikit jeda kemudian menambahkan. “Tidak, meskipun disana terlihat begitu tenang dan indah.”
“Baiklah Professor satu pertanyaan lagi, katakan padaku jika bumi itu datar lalu bagaimana dengan bukti-bukti rekaman ruang angkasa yang memperlihatkan bahwa bumi itu bulat bundar?” Tanya Nurman memotong Professor dan Zia. Pertanyaan Nurman itu berhasil menyita perhatian seluruh orang di Kapal, dan dengan singkat Professor pun menjawab pertanyaan tersebut. Ia mengatakan bahwa semua itu hanya omong kosong dan tidak lebih dari sebuah konspirasi propaganda pemerintah beserta sekutu-sekutunya. Selama ini mereka berbohong untuk mememuaskan rasa penasaran public, mereka menutupi kebenaran tentang dataran di kutub utara yang kaya sumber daya alam untuk dinikmati sendiri, dan Professor menambahkan bahwa semuanya akan terbukti ketika mereka sampai di sebrang kutub utara ini.
Bukan hanya Nurman saja, yang lain juga tidak bisa percaya dengan perkataan Professor tersebut. Namun meskipun demikian mereka tetap bungkam dan bersedia menanti bukti dari ekspedisi, sembari menyaksikan kembali keindahan alam yang terhampar dihadapan mereka.
Mata sang Komandan berkaca-kaca seolah ada rasa haru yang bercampur dengan penyesalan yang dalam dari diri komandan, setidaknya begitu yang dipikirkan Nurman ketika melihat ekspresi perwira tinggi di sebelahnya. Nurman sendiri sebenarnya tidak terlalu memikirkan suka-duka perjalanan ini, bagi dia komando adalah segalanya, ia seperti mesin yang biasa melakukan sesuatu sesuai perintah dan memastikan semuanya aman terkendali. Orang tuanya sudah lama sekali mati, jauh sebelum manusia merusak bumi dan ia tidak punya siapa-siapa lagi, tanpa kekasih bahkan seorang kerabat, satu-satunya yang ia miliki adalah komandonya.
“Lihat disana!” Seru Nurman pada yang lain seraya menunjukan tangan kirinya ke jendela depan.
“Itu pasti sebuah badai salju?” sahut Asisten professor.
“Ya, tapi jauh lebih dahsyat dan dingin.” Tambah Professor.
“Ini berbahaya, kita sudah kehilangan banyak energy akibat suhu dingin sejak pertama kita sampai. Kita tidak bisa melanjutkan perjalanan, aku rasa kita harus kembali.” Jawab Nurman.
“Oh tidak-tidak anakku, kita sudah berjalan sejauh ini kita harus mendapatkan sesuatu.”
“Tentu kita mendapatkan sesuatu, kita dapat bukti kalo tempat ini tidak bisa didiami.”
“Belum, anakku percayalah aku yakin ada sesuatu di dalam sana, kita baru berada diluarnya kita bahkan belum sampai di gerbangnya.” Tambah Professor.
“Aku tidak bisa membahayakan misi ini dan membiarkan kita semua mati kedinginan, aku akan memutar balik.”
Leutnan,aku yang memimpin disini, akulah yang bertanggung jawab atas misi ini –berhasil ataupun tidak.  Sekarang dengarkan aku, kita tidak pergi sejauh ini untuk pulang dengan tangan kosong. Kita berangkat dengan membawa harapan seluruh umat manusia, ini bukan tentang keselamatan kita saja, ini tentang keselamatan seluruh manusia. Kita berlatih dengan keras untuk menanggung beban itu, dan kita telah berjanji lebih baik pulang nama dari pada lari ketakutan. Aku tau kau orang yang hebat prajurit muda, jadi katakan padaku apakah kau dilatih begitu keras untuk menjadi seorang pecundang di medan perang?” timpal Sang Komandan layaknya singa yang bangkit dari tidur malasnya.
“Siap, tidak pak.”
“Bagus, kalau begitu arahkan Kapal ini kedalam badai terkutuk itu.”
“Siap, tapi pak Kapal ini tidak akan bertahan lebih dari satu jam didalam sana. Lalu bagaimana kita bisa menembus badai tersebut?” balasan Nurman membuat semua orang terdiam.
“Apakah mungkin jika kita mengarahkan Kapal ini keatas awan dan terbang  diatas badai?” Tanya Zia memecah keheningan, seolah memberikan harapan.
“Apa itu bisa Leutnan?” timpal si Komandan.
Nurman terlihat ragu untuk menjawab pertanyaan atasannya tersebut, “Mungkin bisa dicoba.” Jawab Nurman sembari menyambar kemudi, menariknya perlahan untuk membiarkan kecepatan Kapal bertambah.
 

***
Bagai hendak menuju kematian, seluruh penumpang di pewasat tersebut memejamkan mata dan mulai melantunkan doa-doa secara khidmat. Sementara Komandan sibuk menyeimbangkan Kapal yang melaju  semakin dekat dengan mulut badai, Nurman menekan banyak tombol dan menarik beberapa tuas sehingga Kapal bergerak semakin cepat. Kapal semakin melaju sedangkan Nurman kembali memperhatikan layar-layar digital di dashboard Kapal, dilihatnya putaran angin yang besar didalam badai –begitu besar hingga ia pikir putaran tersebut mampu melumat gunung sekalipun, namun kemudian dia kembali focus pada Kapalnya yang hampir karam.
Nurman sangat serius memperhatikan sebuah bar kecil di pojok layar Kapal, sembari memberi aba-aba kepada komandan tanpa membir tahu maksudnya. “Sebentar lagi, sebentar lagi.”
Sekarang Kapal mereka sudah memasuki badai dahsyat tersebut, angin yang berhembus begitu kencang hingga membuat Kapal oleng karena terpaannya, sedangkan dinginnya semakin membekukan mesin Kapal. Kapal terbang semakin tinggi mendekati awan mendung di dalam badai, mesin Kapal semakin lemah karena dingin, dan alunan-alunan doa semakin santer terdengar di telinga Komandan. Namun Nurman tidak lengah sedikitpun dalam memperhatikan bar-bar yang bergerak naik turun di hadapannya, sesekali ditariknya sebuah tuas merah perlahann untuk memberi dorongan ekstra pada Kapal.
“Apapun yang akan kau lakukan apa ini sudah waktunya?” teriak sang Komandan pada bawahannya yang masih sibuk menatap layar Kapal.
Matanya masih memperhatikan layar, namun tangan nurman sekarang menarik tuas merah itu lagi dengan lebih kuat dan menahannya. Sebuah bar terlihat meningkat bersama yang lainnya sementara Kapal semakin cepat dan semakin berguncang, hingga pada titik tertentu ketika Kapal mulai menyentuh gumpalan awan mendung bar-bar yang ia perhatikan berhenti bergerak perhitungan-perhitungan angkanya jatuh dan layar mati seketik. Skyship yang di unggul-unggulkan itu berhenti bergetar, mati dan siap untuk jatuh.

Kesunyian satu-satunya hal yang mengisi kapal itu, sesekali suara angin yang berhembus kencang dan suara salju yang menabrak badan kapal. Bermandikan cahaya langit sore, dan berlandaikan kapuk beku, seluruh penumpang kapal itu saling berpegangan tangan,  saling memaafkan, menyesali masa lalu mereka, dan siap menyambut hari baru di alam baru yang mungkin benar berbeda. Terlihat jelas di wajah sang professor sebuah ekspresi penyesalan, mungkin ia menyesal karena telah membawa mereka semua kedalam misi bunuh diri –seperti itulah kira-kira yang Nurman pikirkan.
Nurman sebenarnya bukan lah orang yang tertutup ataupun tidak bisa membaca perasaan orang lain, dia sangat mengerti perasaan orang lain hanya saja ia tidak suka menerka-nerka perasaan, menurutnya kepedulian hanya akan menyulitkan misinya saja oleh karena itu dia selama ini berperan sebagai orang yang dingin. Sementara itu di sampingnya ia melihat sang Komandan terpejam dengan sebuah senyum tipis di wajahnya –senyum yang begitu tulus seolah dia telah berhasil mengikhlaskan sesuatu, dan yang lainnya hanya menunjukan ekspresi takut dan putus asa. Setelah sepersekian detik yang terasa begitu lama dengan kapal yang mulai terasa jatuh, Nurman menarik penuh tuas merah ditangannya seketika Kapal itu berguncang hebat dan melesat menembus awan.
***
Kapal terpental menghantam gundukan awan beku, suara dentamannya yang keras memekakan telinga membuat seluruh orang bertanya-tanya apakah suara itu berasal dari bagian belakang kapal yang hancur –kendati demikian sekarang kapal terbang dengan stabil. Ternyata ledakan sebelumnya adalah ledakan jet pelontar yang Nurman nyalakan, prosesnya membutuhkan waktu untuk mengisi daya pelontar oleh karena itu ia perlu bersabar lebih lama agar energinya terisi penuh dan bisa digunakan.
Sekarang mereka terbang lebih tinggi –sangat tinggi mungkin, dengan pemandangan awan-awan beku yang begitu memukau seolah ada daratan mengapung tempat bagi para malaikat hidup dan bersemayam untuk menyembah Tuhannya. Namun jauh di depan sana terdapat sesuatu yang lebih memukau, lebih dari awan-awan beku, lebih dari terbang diantara dua awan, atau bahkan menyelami lautan gelap, mereka melihat dinding –dinding yang begitu besar, menjulang tinggi menembus awan melesat ke antariksa tak berujung dan membentang luas hingga hilang bersama cakrawala. Sebuah dinding raksasa bermandikan aurora berdiri kokoh –tak tertembus dan tak akan mungkin bisa ditembus– dihadapan mereka, dengan perasaan puas sang Professor tersenyum bangga atas apa yang ia lihat, begitu pula yang lainnya semakin yakin dan mantap mempercaya ada daratan di seberang sana. Kendati demikian belum cukup bagi Nurman untuk mempercayai jika bumi itu datar sebelum melihat apa yang ada dibalik sana, ia berpikir bagaimana caranya untuk bisa melewati benteng tersebut, tidak mungkin baginya untuk membawa kapal itu terbang lebih tinggi lagi, kapal itu sudah  mencapai batas ketinggiannya untuk terbang semakin tinggi lagi hanya akan membunuh mereka.



 Di susurinya dinding es tersebut, beberapa kali di putar balikan kapalnya untuk mencari jalan masuk namun tak secelahpun mereka temukan. Sempat terbesit dalam benak Nurman untuk membombardir dinding tersebut agar hancur, namun hasil analisis mengatakan itu akan sia-sia. Setelah berputar-putar tanpa hasil mereka memutuskan untuk turun dan mencari jalan di dasar dinding, alangkah terkejutnya mereka ketika melihat sebuah pesawat besar melesat melewati sebuah gua raksasa di kaki dinding. Pesawat tersebut berputar-putar beberapa kali kemudian menghilang dalam badai, pesawat itu sangat besar sekitar tiga kali lebih besar dari Skyship mereka namun sedikit lebih lamban. Ketika pesawat itu menghilang, mereka mengambil kesempatan untuk memasuki mulut gua tersebut. Gua itu begitu dalam dan gelap, kendati demikian cahaya matahari terbenam masih bisa terlihat di sisi lain mulut gua. Kapal mereka berjalan begitu cepat menyusuri gua yang sangat panjang, memburu waktu sebelum pesawat tadi kembali atau malah pesawat lain masuk dari depan. Perlahan tapi pasti cahaya semakin terang, mulut gua semakin dekat dan udara yang lebih hangat mulai terasa meski cahaya matahari sudah hilang dari langitan.
Mereka sampai di penghujung gua dengan langit terlanjur gelap, hamparan salju dingin yang sama menyambut mereka namun dengan langit yang lebih cerah. Suhunya hanya lebih hangat beberapa minus derajat namun tetap lebih baik, daratannya besar, semakin besar, dan semakin besar, hingga mereka sadar jika kapal mereka terjatuh. Mereka jatuh menghantam salju dengan keras meski Nurman sudah berusaha menahan keseimbangannya, dilihatnya seluruh anggota ekspedisi bersimbah darah, dia tidak mampu meraih sebuah kemudi di hadapannya, bahkan ia tak mampu menggerakan tangannya. Pandangannya masih kabur namun dia melihat sesuatu yang tak asih di samping tempat duduknya, ia melihat tangannya tergeletak putus dan hancur, sang komandan mati terhimpit lempengan besi dan dinginnya tanah, si Professor hilang bersama patahan kapal bagian belakang, sosok Zia tegeletak tidak jauh dari sisa-sia bangkai kapal yang masih merekat. Nurman hanya terduduk merintih dan tak berdaya, ketika pandangannya semakin buram terlihat dari kejauhan sebuah cahaya yang perlahan menghampiri. Cahaya tersebut berasal dari sebuah mesin sejenis pesawat, benda itu berhenti dihadapannya dan menurunkan beberapa makhluk aneh, lalu ia tidak ingat apa-apa lagi.
***

Di suatu pangkalan militer bernama Area 51 Nurman terbangun, dilihatnya dinding bertuliskan symbol-simbol yang tidak ia mengerti. Makhluk-makhluk aneh berkerumul di sekelilingnya, berkomunikasi dengan bahasa yang asing, kendati tidak mengerti Nurman masih bisa mendengar bagaimana salah satu dari mereka berbicara.
“Demi tuhan, makhluk apa ini sobat?”
“Entahlah, aku pun tidak tahu. Tapi apa kau kenal dengan orang yang menjelajah di kutub selatan dua tahun lalu?”
“Ya, Admiral Richard E.Byrd. Dia menjelajah kutub selatan sejak tahun 1928-1930, berangkat dengan dua kapal tempur dan tiga pesawat.”
“Tepat sekali, Dia lah yang membawa pulang makhluk ini dari sana. Konon katanya ada sebuah gua di kutub selatan, sangat dalam. Ketika di periksa pesawat makhluk ini lewat dengan sangat cepat, nasib baik mereka menabrak gunung es, jika tidak dunia akan geger melihat mereka.”
“Demi tuhan, Amerika tidak akan diam saja.”


Malik Qilam
27 November 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ondel-Ondel dalam Dua Garis Biru (2019)

SURVEI KKN

KEHILANGAN