Postingan

G30S/PK1 dalam Novel Sri Sumarah dan Bawuk

Gambar
    Kudeta G30S/PKI dalam Kisah Sri Sumarah dan Bawuk Oleh: Malik Qilam  Karya sastra merupakan hasil dari pengamatan pengarang terhadap dunia nyata, dengan demikian sastra menyajikan kehidupan yang terdiri dari kenyataan sosial. Menurut Plato sendiri sastra sebagai sebuah seni, hanya dapat meniru dan membayangkan hal-hal yang ada dalam kenyataan yang tampak. [1] Sastra tidak semata-mata meniru dunia nyata, oleh Aristoteles dikatakan bahwa seni merupakan ekspresi jiwa dengan mengolah keadaan yang ada di dunia nyata.   Oleh karena itu, lebih jelas lagi kalau dikatakan bahwa sastra mencerminkan dan mengekspresikan hidup. [2] Pandangan yang melihat sastra representasi realitas tersebut dikenal sebagai mimetik atau mimesis.   Karena sastra bersumber dari realitas maka dengan pendekatan mimetik hubungan antara karya sastra dan dunia nyata dapat dijelaskan. Indonesia sebagai negara multikultural memiliki kehidupan sosial yang beragam, sehingga banyak karya sastra Indonesia yang tidak

Seeking for help

 Gua paham, kita semua mencari tempat untuk berbagi beban, bukan dibagi beban, tapi gua gak paham kenapa kita gak bisa ketemu dalam pemahaman itu. Selalu mengaku saling berjuang, tapi cuma satu yang kesulitan. Apa standar kita timpang terlalu besar, apa level aku terlampau rendah, apa jarak aku terlalu jauh. Apa gak ada cara lain kamu berjuang selain nungguin aku? 😅

Oh Juniku yang Mulia

Gambar
  Gua merasa hampa akhir-akhir ini, terutama seminggu terakhir ini perasaan itu makin kuat. Setelah sebelumnya pacar gua bilang "Gapapa kalau nikahnya mau dua atau tiga tahun lagi asal lamaran dulu, kata mamah."  Gua gak pernah mikirin lamaran, bahkan nikah aja rasanya masih jauh tetapi ternyata hal-hal itu udah ada di depan mata gua ya, apalagi dengan kondisi gua pacaran seumuran. Kemudian gua harus tau dong kalau lamaran itu gimana, dan dia mengajukan sebuah bawaan syarat khusus sesuai adat keluarganya. Saat itu gua merasa, hmm... That's a lot, dan bahkan jadi lebih banyak lagi kalau dihitung sama mahar yang diajukan. Kemudian dia tanya lagi, "Syarat aku memberatkan kamu ya?".  "Rindu aja berat, semua juga berat" dengan enteng itulah jawaban yang gua kasih, dan kelak gua nyesel jawab gitu. Waktu itu gua masih ngerasa, ah bisa ini sih kayaknya lamaran. Ngitung-ngitung mungkin akhir tahun atau awal tahun cukup syaratnya deh. Gua gak bodoh, cuma sayang

I Think Too Much

Gambar
Gua adalah seorang pemikir, terdengar keren bukan? "Bukan". Ini bukan zaman Yunani, Romawi, kejayaan Islam, Renaisans atau Revolusi, di mana ada banyak pemikir, filsuf, ilmuwan, ahli politik, atau tokoh agama yang memberikan banyak sumbangsih pemikiran, ideologi, rumus, atau teori-teori kehidupan yang bermanfaat hingga dianut banyak orang sampai sekarang. Ini adalah zaman post-modern, zaman semua orang berpikir karena memang terlalu banyak yang dipikirkan. Zaman di mana nilai kebenaran digugat, dibandingkan, diuji, dan dicari apakah kebenaran itu adalah sebenar-benarnya kebenaran atau ternyata kebenaran yang selama ini kita percaya hanyalah kebenaran relatif.  Post-Modern dengan karakteristiknya yang riuh (ledakan informasi, kebebasan berbicara/berpendapat, untuk menggugat maupun bersikukuh) pastinya mengombang-ambing kepribadian setiap orang. Terutama tiap-tiap orang yang dibesarkan dengan didikan-didikan saklek era sebelumnya yang masih kaku dan searah. Gua misalnya dibesa

Menyalin Perenungan Tentang Berjuang dan Berkorban

Gambar
  Berkorban*   Kalau ada yang nanya gua, apa sih berkorban itu? Jujur gua gak tau jawabannya, gua gak ngerti bagaimana seharusnya berkorban itu. Gua cuma tau berusaha yang terbaik di setiap kesempatan yang ada. Apalagi kalau yang dimaksud pengorbanan laki-laki untuk perempuan. Gua gak tau pengorbanan laki-laki untuk perempuan sebagaimana gua juga gak tau bagaimana perempuan berkorban untuk laki-laki. Kalau (lagi) pengorbanan perempuan itu menunggu laki-laki yang dia cinta, berarti pengorbanan laki-laki itu mengejar perempuan yang dia cinta. Pun gua gak tau mana yang lebih berat. Kalau (lagi-lagi kalau) memang pengorbanan menunggu itu jauh lebih berat dan melelahkan daripada mengejar. Toh kenapa gak langsung aja bilang cukup, kemudian pamit dan pergi. Patahkan hati itu hari ini, bukan besok, minggu depan, bulan depan, atau tahun depan. Bukannya memupuk harapan yang memudar dimakan waktu. Jika butuh yang siap dan bisa saat ini kenapa harus memaksa yang belum siap dan mampu. Serius tapi