Berdiri di Fase Cepat

 

Photo by Ana Flávia on Unsplash

Gua sadar betul, bahwa ini adalah momen di mana gua harus mengerahkan semua yang gua punya, untuk bisa bertahan dari apapun sebutannya, cobaan, ujian, krisis, pandemi, karma, dosa, hukuman, atau apapun itu. Tadinya gua mau bilang kalau ini adalah momen di mana gua harus kuat dan berpegangan erat, tapi gua lupa kalau gua sendirian.

Sepanjang hidup gua selalu merasa tersesat di jalur cepat. Gua harus mengejar orang-orang. Gua harus menjadi dewasa dan mengejar nilai dan norma (juga agama) orang tua gua agar tidak dicap durhaka sejak kanak-kanak. Gua harus bermain peran untuk bisa bergaul dengan orang lain. Gua harus punya banyak uang yang cukup untuk jalan. Gua harus dapat nilai bagus, sekolah negeri, dan berprestasi agar orang tua gua bangga. Dan masih banyak gua harus, gua harus lainnya yang gua sendiri sampai bingung gimana menjelaskannya. Tapi yang pasti, pasti kita semua tahu betapa tidak menyenangkannya memikul beban "keharusan" yang dititipkan itu.

Kemana, keharusan itu membawa gua?

Segala keharusan-keharusan yang gua pikul itu membawa gua menjadi seorang laki-laki yang penuh kepalsuan. Gua adalah anak kecil patuh dan sopan yang selalu berkelahi di luar rumah. Gua adalah murid pintar dan rajin yang pergi tawuran sepulang sekolah. Gua adalah cowok gentle yang serba bisa tetapi sangat menyebalkan dan sinis. Gua adalah laki-laki lugu dan konyol yang jago menyakiti perempuan. Gua adalah pria yang dapat diandalkan tetapi suka menghilang tiba-tiba. Gua adalah nyala api yang melentera sekaligus menghanguskan.

Membalap tapi bukan pembalap.

Rasanya tidak ada waktu dalam sedetikpun di mana, gua tidak merasa harus membalap orang-orang. Selalu ada anak lebih pintar atau soleh yang harus gua kejar, selalu ada nilai yang harus gua perbaiki, selalu ada hal yang harus gua sempurnakan, selalu ada orang yang harus gua tolong, selalu ada hati yang harus gua bahagiakan, selalu ada suara yang harus gua dengar, selalu ada sosok yang harus gua perhatikan, selalu ada yang minta penjagaan, selalu ada yang minta waktu, dan selalu ada yang merasa tidak diperlakukan dengan adil. Namun, tidak pernah ada gua. Setiap secuil kesempatan gua bisa menempatkan gua dalam keharusan-keharusan itu, akan selalu ada juga protes dan tuduhan betapa egoisnya gua.

Rasanya seperti berada di sebuah jalur cepat, di mana semua orang berjalan begitu terburu-buru. Ribuan, tidak, tapi jutaan orang berlalu lalang, melintang, menerjang, dan menghilang di dalam kerumunan. Tangan gua seperti digandeng banyak orang, ditarik untuk terus berlari dengan kaki-kaki kurus yang mulai kepayahan akibat menggendong ransel raksasa tempat bumi menitipkan air matanya.

Gandengan pertama berkata, "Kalau orang tua ngomong dengerin, mau jadi durhaka terus masuk neraka. Nanti mulutnya ditusuk pake besi panas, dicambuk pake gesper beling, terus disuruh tidur di atas jarum".

Gandengan kedua berkata, "Sekolah harus pinter, nilainya harus bagus minimal 8, bagus kalau bisa juara. Tapi kalau sekolah gak bener nanti jadi gembel, gelandangan. Mau jadi gembel, gak punya rumah, tidur di jalan, kehujanan, kepanasan, kurus, hitam, dan jelek. Kayak orang gila".

Gandengan ketiga berkomentar, "Masuk SMA itu bagus, terus masuk IPA biar prospek kerjanya bagus, gajinya besar. Nanti sukses bisa bantu sekolahin adek-adeknya."

Gandengan keempat menyahut, "Ngapain ambil seni rupa, apa itu juga desain, mau jadi apa, gak ada uangnya. Udah, ini masuk ini aja meskipun swasta. Nih, ada uang segini nanti pagi berangkat daftar langsung bayar daftar ulang sama SPPnya. Ini jurusan prospek kerjanya bagus, enak cuma di depan komputer aja."

Gandengan kelima menyusul, "Wah, apa nanti malah diduluin sama adiknya. Hahahahaha."

Gandengan keenam dari kejauhan, "Udah kamu S2 aja, nih ada banyak beasiswa, bisa lah kamu mah. Ya, pokoknya S2 ya. Awas aja kalau nggak."

Gandengan ketujuh, "Yah elu, dari dulu masih begitu-begitu aja sih, Lik. Hehe."

Gandengan kedelapan agak terlambat, "Eh itu nyokap, momong bayi orang terus, bayi siapa ya?"

Gandengan kesembilan yang lebih erat, karena bergandegan lengan pun turut berbisik, "Kemarin mamah nanya sambil, kamu ada niat serius gak? Kalau ada, gausah lama-lama. Nabung aja setahun atau dua tahun segini, pasti cukup ko."

Setelah hampir 25 tahun hidup dalam kondisi terus mengejar, gua pikir akhirnya gua bisa melepaskan diri dan menentukan tempo berjalan gua sendiri. Faktanya mindset gua dan orang-orang di sekitar gua tentang keharusan-keharusan itu udah menancapkan akarnya begitu dalam sampai rasanya mustahil untuk membakar pohonnya tanpa sisa. Awal tahun gua pikir gua bisa ambil kesempatan untuk istirahat dulu, dengan melepas beberapa pekerjaan, dan fokus pada satu pekerjaan saja. Namun, bisikan terakhir itu begitu mengena. Jalur cepat yang gua lalui selama seumur hidup itu, tiba-tiba kacau, semuanya terasa seperti lari terbirit-birit, mengobrak-abrik satu-satunya kamar tempat gua bisa terbebas: pikiran gua. Dunia itu sempat lengang, sebelum akhirnya kembali bising oleh gema sisa bisikan dan komentar-komentar itu.

Dan, di sini gua, di tengah kamar yang berantakan. Banyak yang harus dipikirkan, dibereskan, dan juga dikerjakan, di dalam waktu yang terbatas dan menuntut diselesaikan secara bersamaan. Oh, Tuhan, bagaimana bisa Engkau bilang bahwa aku juga bagian dari diri-Mu. Tentu aku bukan Tuhan, kan Tuhan? Aku selalu tahu bahwa Engkau hanya satu, tetapi Engkau menjelma segalanya.

Apakah, itu artinya bahwa Engkau juga menjelma aku?





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ondel-Ondel dalam Dua Garis Biru (2019)

SURVEI KKN

KEHILANGAN