PERBANDINGAN PENOKOHAN PADA NOVEL DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH KARYA HAMKA DAN FILM DI BAWAH LINDUNGAN KA’BAH
ANALISIS PErbandingan
PEnokohan
pada Novel DI BAwah Lindungan Ka’bah karya hamka
dan film DI BAwah Lindungan Ka’bah
Malik Abdul Kariim
NIM. dirahasiakan
Abstrak: Kisah perjuangan Hamid dalam novel Di Bawah Lindungan
Ka’bah karya Hamka, merupakan kisah menarik yang mendapat kesempatan untuk
muncul kembali sebagai sebuah film. Film adaptasi novel tersebut ternyata
mengalami perubahan yang cukup banyak salah satunya dalam penokohan. Tulisan
ini berusaha mengkaji perbandingan di antara novel dan film tersebut, terutama
melihat perubahan penokohan dan dampaknya terhadap cerita. Berdasarkan analisis
perbandingan dalam novel dan film Di Bawah Lindungan Ka’bah ditemukan
bahwa terjadi perubahan bervariasi, penambahan, dan penciutan pada penokohan
yang menyebabkan terjadinya perubahan tema dan plot.
Kata Kunci: Hamka. Analisis Perbandingan. Penokohan. Di Bawah
Lindungan Ka’bah.
Pendahuluan
Perindustrian film semakin lama semakin pesat, dengan
teknologi yang semakin maju dan ilmu pengetahuan yang semakin luas. Pembuatan
film pun menjadi mudah karena film bisa dibuat dengan memanfaatkan apa saja,
seperti tokoh, peristiwa, dan umumnya karya sastra. Sebenarnya telah banyak
karya sastra yang telah diadaptasi menjadi sebuah film di Indonesia, seperti Laskar
Pelangi, 5 cm, Ayat-Ayat Cinta, Dealova, Dilan, Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck, Perahu Kertas, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Hujan Bulan Juni, dan
masih banyak lagi. Salah seorang sastrawan yang karya-karyanya diadaptasi
menjadi sebuah film ialah Buya Hamka.
Dua karya Hamka sudah
diadaptasi menjadi film yang laris dan digemari, yaitu Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck dan Di Bawah Lindungan Ka’bah. Pengadaptasian sebuah
karya sastra menjadi film tentu menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan
diantara kedua karya tersebut. Film Di Bawah Lindungan Ka’bah yang rilis
2011 dan disutradarai oleh Henny R. Saputra adalah salah satu adaptasi karya Hamka yang mengalami banyak perubahan. Film
berdurasi 1 jam 21 menit tersebut mengisahkan tentang kisah kasih tak sampai
antara Hamid dan Zainab, karena adat istiadat yang kuat mereka terpaksa
dipisahkan hingga akhir hayat. Kisah tersebut berbeda dengan cerita awalnya di
dalam novel, yang bercerita tentang ketabahan dan keikhlasan Hamid dalam
menghadapi segala cobaan hidupnya.
Perbedaan tersebut berdampak juga pada pewatakan para
tokoh dalam menghadapai masalah yang dihadapi, yang mana dalam film Hamid lebih
ekspresif dan tak sungkan menunjukan perasaannya kepada Zainab, sementara dalam
novel Hamid selalu ragu atas perasaannya dan mencoba untuk mengiraukannya.
Perbedaan tersebut yang membuat film dan novel Di Bawah Lindungan Ka’bah
ini menarik untuk dibicarakan. Tulisan ini berusaha menjelaskan perbedaan
tersebut dengan melihat bagaimana perbandingan antara karya novel dan film Di
Bawah Lindungan Ka’bah dan bagaimana perbedaan penokohan yang terdapat dalam
novel dan film Di Bawah Lindungan Ka’bah.
PEMBAHASAN
Metode dan Acuan Teori
Analisis dalam tulisan ini
akan menggunakan metode Sastra Bandingan. Sastra Bandingan adalah studi sastra
untuk mencermati perkembangan deretan sastra dari wakt ke waktu, genre ke
genre, pengarang satu ke pengarang lain, wilayah estetika satu ke estetika yang
lain.[1]
Sastra bandingan tersebut menjadi metode pengkajian sastra dengan cara
menyandingkan dua karya, antarsastra atau antarkesenian.
Film Di Bawah Lindungan
Ka’bah karya Hanny R. Saputra yang rilis pada tahun 2011 lalu merupakan
adaptasi atau hasil alih wahana dari novel Di Bawah Lindungan Ka’bah
(1938) karya Hamka. Damono berpendapat bahwa, ‘wahana’ berarti kendaraan, jadi
alih wahana adalah proses pengalihan dari satu jenis ‘kendaraan’ ke jenis
‘kendaraan’ lain.[2] Kendaraan dalam
hal ini ialah media penyampaian, yaitu berbagai kesenian seperti sastra, lukis,
film, musik, maupun tari. Alih wahana yang terjadi pada novel Di Bawah
Lindungan Ka’bah ialah adaptasi ke dalam film, oleh Pamusuk Ensete disebut
sebagai ekranisasi.
Ekranisasi ialah
pelayarputihan atau pemindahan/pengangkatan sebuah novel ke dalam film.[3]
Ekranisasi merupakan proses perubahan dari dunia kata-kata menjadi dunia
gambar, karya individu menjadi karya gotong-royong, dan pengisahan kembali
sebuah cerita secara terbatas ruang dan waktu. Dampaknya akan terjadi tiga
perubahan, yaitu penciutan, penambahan, dan perubahan bervariasi. Penciutan
berarti pemangkasan atau mempersingkat sebuah kisah yang terkadung dalam sebuah
novel agar bisa disampaikan dalam waktu satu hingga dua jam saja. Penambahan
adalah tindakan menambahkan bagian-bagian tertentu dalam kisah asal sebagai
penafsiran lebih sang sutra dara dengan alasan tertentu. Perubahan bervariasi
adalah pengubahan atau penggantian bagian, bentuk, atau sifat tertentu.
Perubahan bagian yang menarik
dalam film Di Bawah Lindungan Ka’bah salah satunya dalam penokohan. Penokohan
dan karakterisasi menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan
watak-watak tertentu dalam sebuah cerita.[4]
Penokohan bukan hanya tentang tokoh dan wataknya namun juga penempatan,
pelukisan, dan perkembangannya. Penokohan
berkaitan erat dengan pemplotan dan tema, karena tokoh adalah pelaku sebuah
kehidupan dan plot adalah segala peristiwa yang terjadi pada tokoh, semua
tindakan yang dilakukan atau peristiwa (ketegangan & konflik) yang terjadi
pada tokoh merupakan penyampaian dari tema, terutama bagi tokoh utama.
Tokoh-tokoh dalam kisah dapat
dibedakan menjadi beberapa jenis, seperti utama dan tambahan, protagonis dan
antagonis. Berdasarkan segi kepentingan penokohan dibagi menjadi tokoh utama
yang membawa tema dan diceritakan paling banyak, dan tokoh tambahan yang
berkaitan dengan sang tokoh utama untuk mendukung cerita. Berdasarkan fungsinya
penokohan dibagi menjadi tokoh protagonis yang mendapatkan simpati pembaca
karena membawa tema cerita, dan tokoh antagonis yang menjadi lawan dan pemicu
konflik dari tokoh protagonis. Penokohan dapat diungkapkan melalui cara
analitik yang berupa uraian langsung, atau dramatik yang tercermin dalam
tindakan, pikiran, maupun hubungannya dengan tokoh lain.
Biografi Penulis &
Sutradara
HAMKA
Haji Abdul Malik Karim
Amarullah, atau yang biasa dikenal HAMKA, lahir 16 Februari 1908 di Molek,
Maninjau, Sumatra Barat dan meninggal 24 Juli 1981 di Jakarta. Hamka merupakan
sastrawan yang berorientasi pada Islam, ia pun disebut sebagai orang alim
pengarang roman. Hamka tidak menerima pendidikan barat, tak bisa bahasa
Belanda dan Inggris, namun ia mempelajari agama Islam sejak kecil. Bakat
seninya berkembang dari pengaruh Arab, terlihat dari karya pertamanya Di
Bawah Lindungan Ka’bah yang merupakan oleh-oleh sepulang Hajinya tahun
1927. Karya-karyanya antara lain Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938), Merantau
ke Deli (1938), Karena Fitnah (1938), Tuan Direktur (1939), Keadilan
Ilahi (1941), Di Dalam Lembah Kehidupan (1941), Dijemput Mamaknya
(1949), Menunggu Beduk Berbunyi (1950), Kenang-kenagan Hidup I-IV (1951),
Lembah Nikmat (1959), Cemburu (1961), Cermin Penghidupan
(1962), Ayahku (1967).
Henny R Saputra
Henny R Saputra ialah seorang sutradara ternama di
Indonesia. Ia lahir di Salatiga, lulusan IKJ tahun 1990. Debut karyanya
sinetron Sepanjang Jalanan Kenangan berhasil memenangkan penghargaan
sebagai sinetron jenis drama pada Festival Sinetron Indonesia 1997. Adapun
film-film yang digarapnya, yaitu Virgin: Ketika Keperawanan Dipertanyakan
(2004), Mirror (2005), Heart
(2006), Love is Cinta (2007), The Real Pocong (2009), Sweatheart
(2010), Sssstt… Jadikan Aku Simpanan (2010), Di Bawah Lindungan
Ka’bah (2011), Milli & Nathan (2011), Love Story (2011), Love
is U (2012), Strawberry Surprise (2014), 12 Menit: Kemenangan
untuk Selamanya (2014), Ayah Menyayangi Tanpa Akhir (2015), Djavu:
Ajian Puter Giling (2015), Bisikan Iblis (2018), Sajen
(2018).
Sinopsis
Novel Di Bawah
Lindungan Ka’bah
Hamid adalah seorang pria yang selalu dirundung
kesedihan. Sejak kecil ia ditinggal ayahnya dan mesti bekerja membantu ibunya.
Melalui pertolongan keluarga Haji Jafar terbitlah sedikit kebahagiaan dalam
hidupnya, meskipun tak lama hingga Haji Jafar dan Ibunya harus pergi menghadap
ilahi. Tiada tempat bersandar baginya selain Tuhan, karena bukan hanya
kehilangan orangtuanya ia juga harus mengikhlaskan cintanya. Hamid pergi
membawa kesedihannya, menempuh ribuan kilometer ke Ka’bah untuk bersujud
memohon perlindungan Allah SWT.
Film Di Bawah Lindungan
Ka’bah
Hamid adalah lelaki cerdas yang jatuh cinta dengan
Zainab, anak walinya. Perbedaan derajat menjadi pembatas bagi mereka, adat istiadat
yang tinggi membuat Hamid terusir dari kampung. Haji Jafar sang walinya dan ibunya
meninggal saat ia menjalani pengasingan tersebut. Merasa terluka dan dan
sendirian Hamid memutuskan untuk mewujudkan keinginannya dulu, pergi Haji dan
meninggalkan Zainab. Saat ia terseok-seok melakukan Wakaf, didapatinya sepucuk
surat dari Zainab yang sedang sakit-sakitan menantinya pulang. Rasa sedih
kembali menusuk Hamid, ia pun berdoa kepada tuhan dan berserah diri untuk
kembali pada-Nya.
Analisis Intrinsik Novel dan
Film Di Bawah Lindungan Ka’bah
Tema
Novel Di Bawah Lindungan
Ka’bah berkisah tentang ketabahan manusia dalam menghadapi dinamika
kehidupan yang pelik dan panjang. Sebagaimana yang tergambarkan pada peristiwa
naik haji, Hamid yang jatuh sakit setelah melakukan perjalanan panjang beroda
kepada Tuhan dengan haru dan khidmat meminta kelapangan ampunan. Sedangkan film
Di Bawah Lindungan Ka’bah berkisah tentang pedihnya kisah cinta tak
sampai dari dua orang manusia yang terbatas adat dan istiadat, sebagaimana
dikisahkan bahwa Hamid berkelana hingga ke Mekah setelah diusir warga karena
memberikan nafas buatan kepada Zainab yang tenggelam.
Tema percintaan Hamid dan
Zainab dalam novel adalah salah satu dari banyaknya cobaan hidup Hamid sejak ia
kecil, seperti tak mampu sekolah dan harus berjualan, merantau jauh dari
keluarga, ditinggl mati orang-orang tersayang, dan perasaan tak sederajat dengan
keluarga Zainab. Tema tersebutlah yang menonjol dari film Di Bawah Lindungan
Ka’bah. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa terjadi penciutan
tema dari novel ke film. Tema kecil novel diangkat menjadi tema besar,
sedangkan tema besarnya direduksi.
Alur
Alur pada novel dan film mengalami perubahan, meskipun
terasa sama namun ada hal mendetail yang sangat berbeda. Hamka dalam novelnya
menceritakan kisah Hamid secara berbingkai, sehingga alurnya menjadi maju
sekaligus mundur. Kisah hidup Hamid disampaikan kepada pembaca oleh tokoh Saya
yang kebetulan bertemu Hamid saat menunaikan Haji. Hamid di dalam novel itu
menceritakan dirinya kepada tokoh Saya sehingga secara tidak langsung
pembaca juga mengetahui (atau mengikuti) kisah hidup hamid. Kira-kira alur
dalam novel Di Bawah Lindungan Ka’bah, sebagai berikut:
Kisah tokoh Saya |
|||||||
AWAL |
TENGAH |
AKHIR |
|||||
Pergi Haji Berkenalan dengan Hamid Khawatir dengan Hamid |
Mengetahui Kisah Hamid
Membantu Hamid Kematian Hamid |
Menguburkan Hamid Pulang ke Indonesia |
Sedangkan pada film Di
Bawah Lindungan Ka’bah hanya ada satu alur yaitu kisah Hamid. Film dimulai
dengan pengenalan Hamid setelah lulus sekolah di Padang, kemudian masalah
muncul saat Arifin dikenalkan sebagai calon suami Zainab dan Hamid diusir dari
kampung, terjadi komplikasi masalah ketika H. Jafaar dan Emak meninggal
sehingga Hamid tidak punya tempat untuk pulang, klimaks cerita yaitu ketika
Hamid bertemu Saleh saat tawaf dan mendapatkan kabar tentang Zainab. Meskipun
demikian cerita Hamid sama diakhiri pada tahap klimaks dengan kematiannya di
depan Ka’bah. Berdasarkan tersebut dapat dikatakan bahwa terjadi penciutan alur
dari yang kompleks menjadi sederhana.
Latar
Seperti yang telah diketahui
bahwa terdapat tiga kategori latar di dalam sebuah cerita, yaitu latar tempat,
latar waktu, dan latar sosial. Latar tempat dalam novel dan film secara umum
sama, yaitu di Sumatera Barat dan di Arab, namun mengalami penciutan karena gambaran-gambaran
pegunungan dan bukit di Padang Panjang, padang gurun di Arafah ataupun Mina
tidak hadir dalam film. Latar Waktu dalam novel berdasarkan peristiwa dan kisah
si tokoh saya hanya terjadi selama beberapa bulan pada tahun 1927, namun karena
alur film mengikuti kisah Hamid maka terjadi penambahan latar waktu cerita dari
tahun 1922 hingga 1927. Sedangkan latar sosial di antara kedua karya tersebut
sama, yaitu masyarakat yang masih tradisional, menjunjung tinggi adat istiadat,
dan ketat dalam beragama.
Penokohan
Penokohan dalam novel dan film mengalami perubahan
sehingga komposisinya berbeda. Tokoh-tokoh yang hadir dalam novel yaitu Saya,
Hamid, Zainab, H. Jafaar, Mak Asiah, Saleh, dan Rosnah, lalu pada film
mengalami penambahan tokoh Arifin dan Rustam. Beberapa tokoh di dalam novel dan
film pun mengalami perubahan sifat mulai dari yang kecil hingga yang
signifikan. Masalah Penokohan ini akan dibahas lebih dalam pada bagian analisis
perbandingan tokoh novel dan film Di Bawah Lindungan Ka’bah.
Analisis Perbandingan Tokoh
Novel dan Film Di Bawah Lindungan Ka’bah
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa terdapat
perbedaan antara penokohan novel dan film Di Bawah Lindungan Ka’bah.
Perbedaan tersebut hadir karena adanya penambahan dan perubahan variasi dari
tokoh-tokoh awal yang berada di dalam novel. Berikut adalah perbandingan
penokohan untuk melihat perbedaan-perbedaan penokohan yang terjadi:
Hamid
Hamid adalah tokoh laki-laki yang berkepribadian baik, santun, soleh, cerdas,
dan tabah. Hamid di dalam novel memiliki sifat yang pendiam dan pencemas, dalam
diamnya ia sangat peduli dengan orang lain. Saat kecil ia bekerja menjual kue
karena kasihan dengan ibunya, dalam percintaan ia selalu tertutup dan ragu, pernah
satu ketika lidahnya kelu saat bertemu Zainab padahal banyak hal yang ingin
diceritakannya. Dengan kepedulian dan keyakinannya yang kuat, ia adalah tokoh
yang tabah menghadapi segala permasalahan hidup.
Hamid di dalam film memiliki sifat yang berani dan ekspresif. Kita tidak
akan menemukan sosok Hamid yang bekerja membantu ibunya, namun kita akan lebih
banyak melihat sosok hamid sebagai lulusan diploma yang cerdas, aktif, dan
santun. Hamid tersebut tidak segan untuk mengungkapkan perasaannya kepada
Zainab, seperti memuji jamuannya, menemuinya di pagar rumah, mengajak bermain
ke pantai, bermain hujan-hujanan, hingga menolong Zainab saat tenggelam.
Berdasarkan tersebut dapat dilihat bahwa terjadi perubahan variasi pada tokoh
Hamid dari sosok yang tertutup menjadi terbuka. Hamid dalam kedua karya
tersebut merupakan tokoh protagonis, karena ia ingin memberikan yang terbaik
bagi orang-orang yang tersayang (ataupun Zainab yang tercinta).
Zainab
Zainab adalah tokoh perempuan cantik yang baik hati dan
patuh. Zainab di dalam novel memiliki sifat tertutup, pasif, dan patuh. Ia
merupakan sosok perempuan yang dicintai Hamid dalam diam. Zainab di dalam novel
hidup mengikuti aturan adat dan kemauan orangtuanya untuk dipingit, sehingga ia
tidak banyak bergaul di luar rumah. Sebenarnya ia juga menyukai Hamid, namun
apa daya ia tidak kuasa melawan orangtuanya dan Hamid pun tidak berani
berinteraksi lebih dengannya, sehingga ia hanya diam saja.
Tokoh Zainab di dalam film memiliki sifat yang bertolak belakang, yaitu ekspresif,
cerdas, dan aktif. Jika di dalam novel Zainab hadir sebagai anak yang patuh
saat dipingit dan selalu berada di rumah, maka di dalam film kita akan melihat
Zainab yang aktif membantu usaha ayahnya serta kerap bergaul keluar rumah.
Zainab di dalam film memiliki semangat hidup yang cukup tinggi terutama dengan
cintanya pada hamid, ia selalu mencari perhatian Hamid bahkan sampai tenggelam
di sungai. Tokoh Zainab dengan demikian mengalami perubahan bervariasi dari
yang pasif menjadi aktif. Atas hubungannya dengan Hamid, Zainab merupakan tokoh
protagonis pada novel maupun film Di Bawah Lindungan Ka’bah.
Ibu & Mak Hamid
Ibu atau Mak Hamid adalah orang tua kandung Hamid
satu-satunya, tokoh Ibu dalam novel diubah namanya menjadi Mak saat diadaptasi
menjadi film. Mak dan Ibu memiliki sifat yang sama, yaitu baik, penyayang,
tegas, dan tangguh. Ibu sangat menyayangi anaknya dan mencintai suaminya
sehingga ia berjanji untuk berjuang untuk membesarkan Hamid meskipun seorang
diri. Sedangkan Mak berkerja kepada Haji Jafar untuk memenuhi kebutuhan hidup
Hamid, dan bersikeras untuk menami Hamid saat disidang di surau. Atas dasar
demikian Ibu diidentifikasi sebagai tokoh protagonis. Berdasarkan hal tersebut
maka tokoh Ibu mengalami perubahan variasi menjadi tokoh bernama Mak Hamid, hal
tersebut bertujuan untuk menghidupkan cerita berlatar Sumatera Barat itu dengan
menggunakan panggilan yang lebih kedaerahan.
Haji Jafar
Haji Jafar adalah ayah Zainab yang berada di novel dan
film. Haji Jafar merupakan pengusaha yang baik hati, dermawan, bijaksana, dan
rendah hati. Kebaikan Haji Jafar dalam novel terlihat ketika ia menyekolahkan
Hamid bersama dengan anaknya Zainab. Kebaikan itulah yang sangat berarti bagi
Hamid sehingga ia bisa melanjutkan pendidikan ke Padang Panjang, “Amat besar
budi Engku Haji Jaafar kepada saya, banyak kepandaian yang telah saya peroleh
karena kebaikan budinya itu[5]”.
Kebaikan Haji Jafar di dalam film selain karena telah menyekolahkan Hamid, juga
karena berterima kasih dan memahami Hamid yang dinilai telah mengotori Zainab.
Berdasarkan hal tersebut maka Haji Jaafar adalah tokoh protagonis yang
kehadirannya konsisten dalam novel dan film Di Bawah Lindungan Ka’bah.
Mak Asiah
Mak Asiah adalah ibu Zainab di dalam novel dan film. Mak
Asiah di dalam novel memiliki sifat baik dan dermawan. Mak Asiah adalah orang
yang pertama kali bersimpati pada Hamid kecil saat berjualan kue keliling
setiap hari, atas rasa simpatinya itulah Hamid bisa hidup sebagai bagian dari
keluarga Haji Jaafar. “Sudah dua tiga kali saya datang ke rumah indah dan bagus
itu; setiap kali saya datang bertambah sukanya melihat kelakuan saya dan belas
kasihan akan nasib saya.[6]”
Berbeda dengan di novel, penokohan Mak Asiah di film
mengalami perubahan peran dan penambahan. Mak Asiah memang bersifat baik dan
dermawan, namun ada keangkuhan dalam dirinya yang menolak Hamid dekat-dekat
dengan Zainab. Pada awal film mungkin kita tidak melihat upaya yang berarti
dari Mak Asiah untuk menjauhkan Hamid dan Zainab, namun seiring berjalannya
kisah semakin nyata upayanya dengan membohongi Hamid agar tidak bertemu Zainab
sebelum ia merantau jauh. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa Mak Asiah adalah
tokoh antagonis dari Hamid dan Zainab. Berdasarkan paparan di atas diketahui
bahwa tokoh Mak Asiah mengalami perubahan peran menjadi tokoh antagonis, dan
terjadi penambahan sifat sombong atau angkuh pada dirinya.
Saleh
Saleh adalah tokoh yang cukup penting di dalam novel
maupun film, karena itu ia hadir di keduanya. Saleh di dalam novel dihadirkan
secara terbatas, yaitu sebagai kawan lama Hamid yang kebetulan bertemu di Mekah
saat hendak menunaikan ibadah Haji. Saleh merupakan sahabat yang baik dan setia
kawan. Ia menjadi penyambung lidah antara Zainab dan Hamid serta membantu Hamid
dalam berjuang menunaikan Haji.
Saleh di dalam film mengalami penambahan sifat dan muncul
dari awal hingga akhir kisah. Saleh dalam film merupakan pemuda yang baik hati,
lucu, pekerja keras, dan setia kawan. Berbeda dengan Saleh di dalam novel
merupakan kawan sekolah Hamid, saleh pada film merupakan sahabat Hamid sejak
kecil sehingga hubungan personalnya sangat kuat. Tokoh Saleh mendapatkan
kesempatan untuk hadir lebih banyak di dalam film ini, sebagai tokoh protagonis
yang mendukung Hamid.
Rosnah
Rosnah adalah sahabat kecil Zainab. Rosnah di dalam novel
hadir terbatas melalui fokalisasi Saleh dan Hamid. Ia muncul sebagai istri
Saleh yang selalu menemai Zainab di rumah. Rosnah adalah sahabat yang baik,
perhatian, dan suka menolong. Rosnah merupakan tempat Zainab berkeluh kesah, teman
berbagi kesedihan Zainab.
Rosnah di dalam film sama seperti Saleh, mengalami
penambahan. Ia hadir di sepanjang cerita, menemani Zainab sejak kecil hingga
menjelang kematian. Sifat yang dimiliki Rosnah pun sama, yaitu baik, perhatian,
dan suka menolong. Rosnah dalam film dikisahkan membantu Zainab mengerjakan
tugas dari Haji Jafar, agar Zainab bisa melihat Hamid berlomba debat.
Berdasarkan hal tersebut Rosnah merupakan tokoh protagonis dalam kedua karya,
yang kemudian mendapat kesempatan untuk hadir lebih banyak dari pada
sebelumnya.
Rustam
Rustam adalah paman Zainab, keluarga dari Haji Jafar dan
Mak Asiah. Tokoh Rustam tidak ada dalam cerita di novel awalnya, namun muncul
di dalam filmnya. Rustam merupakan sosok pria yang kolot, sombong, dan jahat.
Dengan mengandalkan adat istiadat ia sangat mengharapkan Zainab dinikahkan
dengan anaknya Arifin, agar mampu menjaga dan meneruskan harta benda Haji Jafar
kelak. Hamid adalah orang asing baginya, oleh karena itu ia sangat tidak
menyukai Hamid bahkan ia adalah tokoh yang senang ketika Hamid diusir dari
kampung. Berdasarkan hubungannya dengan kisah cinta Hamid dan Zainab maka
Rustam merupakan tokoh antagonis.
Arifin
Arifin adalah kemenakan Haji Jafar dan Mak Aisah yang
akan dijodohkan dengan Zainab. Cerita di dalam novel tidak menampilkan Arifin,
namun secara implisit ia muncul sekilas melalui fokalisasi Mak Aisah yang
hendak menjodohkan Zainab dengan seorang
anak saudara almarhum Haji Jafar.[7]
Arifin justru muncul sebagai tokoh yang ikut berinteraksi dan langsung
mempengaruhi cerita di dalam filmnya. Ia adalah sosok yang tampan, baik hati,
dan cerdas. Kehadirannya merupakan halangan besar bagi Hamid untuk memiliki
Zainab, oleh karena itu Arifin tergolong sebagai tokoh Antagonis.
Saya
Saya adalah tokoh laki-laki yang menyampaikan kisah Hamid
di dalam novel. Tanpa adanya tokoh Saya kisah Hamid tidak akan tersampaikan
kepada pembaca. Saya merupakan sosok lelaki yang baik hati, peduli, dan setia
kawan. Ia adalah sosok yang membantu Hamid untuk berjuang menunaikan ibadah
Hajinya agar kelak bisa kembali menemui Zainab. Pada pengadaptasian film
terjadi penciutan penokohan, sehingga tokoh protagonis ini tidak muncul.
Perbandingan penokohan Di Bawah Lindungan Ka’bah
menunjukan bahwa terjadi konsistensi, perubahan variasi, penambahan dan
penciutan dalam pengadaptasian film. Konsistensi ditemukan pada tokoh Haji
Jafar; perubahan terjadi pada tokoh Hamid, Zainab, dan Mak Hamid; penambahan
terjadi pada tokoh Mak Asiah, Saleh, Rustam, dan Arifin; sedangkan penciutan
terjadi pada tokoh Saya dihilangkan. Perubahan ini dilakukan untuk mendukung
tema cerita/permasalahan yang ingin diangkat, yaitu kasih tak sampai.
Tokoh saya dhilangkan agar
penonton lebih dekat dengan kisah Hamid, sehingga jalinan emosi akan lebih kuat
nantinya. Sosok Hamid dan Zainab adalah dua orang yang ekspresif sehingga
perasaan dan perjuangan cintanya nyata terlihat. Pada hal tersebut sikap angkuh
dan ketidaksukaan pada tokoh Mak Aisah dimunculkan sebagai tandingan awal
hubungan Hamid dan Zainab. Namun dengan dua tokoh (utama) yang sama ekspresif
(dan agresif) maka keangkuhan Mak Aisah belum cukup untuk memunculkan
konfliknya, sehingga dibutuhkan penghalang lain yaitu orang ketiga Arifin dan
Rustam. Rustam dan Arifin dimunculkan sebagai komplikasi konflik, layaknya bentangan
benang yang saling bersilangan dan perlahan melilit Hamid dan Zainab. Setelah
Ibu dan Haji Jafar sebagai pendukung terkuat meninggal, jarak Hamid dan Zainab
semakin jauh. Mak Aisah, Rustam, dan Arifin semakin mengukuhkan dirinya sebagai
pengahalang terbesar cinta Hamid dan Zainab.
Kisah percintaan yang gagal
pun menjadi dampak dari perubahan-perubahan penokohan. Perubahan-perubahan
tersebut bisa dilihat sebagai strategi untuk mempercepat jalinan emosi antara
para tokoh dengan penonton, karena film merupakan karya yang waktunya terbatas
sehingga inti perasaan yang hendak disampaikan ke penonton harus bisa disampaikan
dengan efektif dan efisien. Dengan demikian perubahan-perubahan di dalam film
bisa disebut sebagai usaha untuk menghidupkan kisah dan menciptakan
permasalahan yang memang hendak diangkat dalam film. Jika perubahan-perubahan
tersebut tidak dilakukan, besar kemungkinan temanya akan gagal dibentuk dan
kisah menjadi aneh dan datar.
SIMPULAN
Berdasarkan analisis dan
pembahasan yang telah dilakukan, maka terdapat dua simpulan yang dapat
dipaparkan:
1) Film adaptasi novel Di
Bawah Lindungan Ka’bah mengalami perubahan tema dari perjuangan dan
ketabahan menjadi tragedi percintaan. Alurnya mengalami penciutan karena hendak
menyesuaikan dengan sifat film yang terbatas. Di satu sisi lain latar waktu
mengalami penambahan karena langsung mengikuti perjalanan kisah Hamid. Secara
keseluruhan kisah yang disampaikan dalam film sama dengan novelnya, namun
penciutan yang terjadi pada tema seolah mengesankan perubahan perspektif
masalah yang hendak diangkat yaitu dari sisi percintaan.
2) Tokoh-tokoh dalam mengalami banyak
perubahan, yaitu perubahan variasi, penambahan, dan penciutan. Perubahan
terjadi pada Hamid, Zainab, dan Ibu; penambahan terjadi pada Mak Asiah, Rustam,
Arifin, Saleh, dan Rosnah; sedangkan penciutan terjadi pada tokoh Saya.
Perubahan itu terjadi sebagai strategi untuk menimbulkan simpati yang efektif
dan efisien dalam diri penontonnya, karena keterbatasan durasi pada film.
Akirnya dengan penokohan yang demikian tema/permasalahan tragedi percintaan
sukses diangkat.
Pengadaptasian kisah tentu akan menimbulkan pebedaan, karena setiap
pengadaptasi memiliki selera, gagasan, dan kompetensi tersendiri dalam menerima
hingga merefleksikan suatu karya. Namun perbedaan tersebut tidak bisa begitu
saja dilihat sebagai sesuatu yang negatif dan tak bermutu, melainkan dilihat
sebagai sebuah kreatifitas dan keunikan yang berharga. Dalam film ini sutradara
bisa disebut sukses mengangkat perspektif lain dari kisah Di Bawah Lindungan
Ka’bah karya Hamka. Penyesuaian aspek-aspek ceritanya dirasa tepat karena
terbukti berhasil menonjolkan permasalahan utama yang diangkat.
DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. Alih Wahana. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. 2018.
Endraswara, Suwardi. Metodologi Sastra Bandingan. Jakarta: bukupop.
2014.
Eneste, Pamusuk. Novel dan Film. Flores: Penerbit Nusa Indah. 1991.
Hamka. Di Bawah Lindungan Ka’bah. Jakarta: Pustaka Antara.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2012.
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. “Hamka”. Ensiklopedia Sastra Indonesia. http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Hamka. Diakses pada 29 November
2018, pukul 19.00 WIB.
Film Indonesia. “Hanny R Saputra”.
Filmindonesia.or.id. Diakses pada 29 November 2018, pukul 19.00 WIB.
[1]
Suwardi Endraswara, Metodologi Sastra Bandingan, (Jakarta: bukupop,
2014), h. 12.
[2]
Sapardi Djoko Damono, Alih Wahana, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2018), h. 9.
[3]
Pamusuk Eneste, Novel dan Film, (Flores: Penerbit Nusa Indah, 1991), h.
60.
[4]
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2012), h. 165.
[5]
Hamka, Di Bawah Lindungan Ka’bah, (Jakarta: Pustaka Antara), h. 8.
[6] Ibid.,
h. 7.
[7] Ibid.,
h. 16.
Komentar
Posting Komentar