Memaafkan Siapa?
Minal Aidin Wal Faidzin, Selamat Idul Fitri 2019 Masehi / 1440 Hijriyah. Semoga seluruh amal perbuatan kita menjadi berkah, dan seluruh dosa dan kesalahan kita diampuni. Teruntuk seluruh manusia di dunia.
Hari Berbahagia.
Sejujurnya aku tak merasa benar-benar bahagia hari itu. Hari raya, hari di mana para umat muslim dianggap kembali suci setelah tiga puluh hari menguras diri dari nafsu dan dosa. Seperti hari-hari lainnya, rasanya hampa saja. Duniaku yang sudah jadi hitam putih, jiwaku yang seakan sudah mati, menyisakan jasad yang terjebak dalam kehidupan yang menuntut tekad untuk ditamatkan. Aku misuh sendiri.
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
-Chairil Anwar
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.
-Chairil Anwar
Pasca aku merasa muak (dengan cinta), aku hanya mengalir pada setiap gelombang yang tak tentu dan tak jelas ke mana aku dibawanya. Resah-resah gelisah membasahiku yang memang segan untuk mengeringkan diri. Pernah kucoba menepi, menjemur diriku hingga sekitar tak lagi lembab. Seperti ponco, sisa rasa percaya yang waktu itu masih ada, hanya mampu menjadi bivak. Sehari hingga dua hari kulewati dengan baik, gelap, udara dingin, tanah lembab, haus dan lapar sukses aku hadapi, hingga silih berganti deras hujan dan riuh guntur menerbangkan sisa-sisa perlindunganku ke antah-berantah.
Aku berdiri di tengah hujan itu, dengan sisa sandang yang satu-satunya bertahan. Kubiarkan kuyup-kuyup diriku, dengan lumpur, darah, dan keringat. Aku mau begini saja, menyerah, katanya “hidup hanya menundah kekalahan”, baik kupercepat saja. Aku mengaku kalah, kuceburkan diriku pada arus yang tak tentu arah itu.
Saat aku hendak benar-benar melepaskan semuanya, sesuatu menarik kerah bajuku. Aku sedikit tercekik dibuatnya, tersentak. Secercah yang menghangatkanku di dalam belantara sendu itu protes. Satu dua hari itu ia telah bersukar memandikanku dengan sinar, demi sekadar menjaga mataku dari buta. “Berani-beraninya kau menyerah!”
Aku terduduk di hari yang berbahagia itu, hari raya, waktu bagi saling memaafkan. Saat aku kelimpungan tentang siapa yang harus kumaafkan, dan kepada siapa aku harus minta maaf. Secercah itu kembali membuatku melihat bahwa, aku selalu tenggelam pada masa lalu dan semua kegagalanku. Betapa lama aku menghukum diri sendiri, sekaligus mengaku jadi korbaan keadaaan. Aku pun sampai pada sebuah kesimpulan, kalau terkadang diri kita sendiri lah yang paling perlu diselamatkan. Mintalah maaf pada diri sendiri, maafkanlah dia, dan berdamailah dengan masa lalu.
Tidak-tidak, aku bukan mengatakan ini karena aku sudah berdamai. Sebaliknya aku takan mengatakan ini jika aku sudah berdamai dengan diriku. “Belum”, aku belum, dan “Iya”, aku mengakuinya.
Trims.
Trims.
Komentar
Posting Komentar