Keresahan di Malam Minggu
Bertahun-tahun aku terjebak dalam keresahan, bahkan sampai
saat ini ataupun besok. Aku mungkin masih tetap terjebak, resah, menyesal,
kesal, dan sakit hati. Ada banyak suara di kepalaku, yang seakan terus
menghinaku, bahwa akulah bajingan di lingkunganku. Bahwa aku bermain-main hati,
bahwa aku pemberi harapan palsu, bahwa aku adalah penghianat. Bahwa itu lah
aku. Namun hari ini ingin coba kujelaskan motif tindakanku, yang selalu pergi,
meninggalkan seseorang begitu saja. Mungkin aku akan gagal bercerita kali ini.
Tapi tahun-tahun itu aku sempat menulis puisi tentang perasaanku.
Keliling Kota
Kukelilingi seluruh kota malam ini
Kusambangi setiap nama yang digaungkan para muda-mudi
Kujelajahi tiap sudut-sudutnya
Namun tak kudapatkan apa-apa
Memang kutemui keramaian
Kerumunan yang tenggelam dalam sukacita
Sayang, tak ada tempat bagi kesepian
rindu, iri, lupa, dan luka
bagiku, kota ini telah jadi hitam putih
warna-warni telah mati
hakikat sukacita telah tiada
dengan harap-harap cemas
aku berkelana
supaya aku bisa jatuh cinta
aku enggan memilih
karena aku lelah kecewa
--pada diriku
Semua berawal dari sekelebatan mata
Yang kutatap dari balik spion motorku
Mata yang membentuk rupa
Rupa yang memebentuk sosok
Sosok yang membentuk rasa
Rasa yang menarik aku kembali ke dalam cuaca
Seketika aku
tidak di dunia
semua
perempuan yang pernah kucintai datang
menamparku
dengan kenyataan
dan
menyuapiku dengan bermangkuk-mangkuk penyesalan
--yang harus
kutelan
Lalu para
pejalan kaki menginjak-injaki bahuku
Wajahnya
berseringai
Dan mulutnya
berbisik hebat pada hatiku
Katanya,
“mampus kau dikoyak-koyak sepi”
Malik Qilam
Pamulang, 9 Februari 2019.
Hari itu gua sedang gundah gulana, galau. Karena sore itu gua
melihat mantan kekasih hati. Ternyata selama ini gua gak biasa-biasa aja. Kalau
dibilang munafik, mungkin saja. Let me tell ya bout something. Tentang bagaimana
seharusnya laki-laki bertindak, ketika dia jatuh cinta.
Cinta adalah hal yang rumit bagi gua,
dan sampai sekarang gua masih belum tahu betul apa itu cinta. Tapi meskipun
demikian gua pernah melakukan ini: gua pernah meninggalkan seseorang yang gua
cintai dan dia juga cinta sama gua karena gua merasa gak punya apa-apa untuk
dia; gua pernah mencintai dan tidak pernah berani meyatakan perasaan gua secara
langsung ke orang yang gua cintai karena gua merasa gua adalah seseorang yang
buruk bagi dia; atau gua pernah meninggalkan orang yang gua cintai karena gua
masih terjebak pada perasaan lama gua. Di sini, gua akan ceritakan ketiganya.
Meninggalkan seseorang karena gua gak
bisa memberikan apa-apa
Gua pernah pacaran dengan seorang
perempuan. Dia cantik, cerdas, kaya, dan keturunan ningrat. Kehidupan gua
bahagia saat itu (ga yakin disebut “kami” karena mungkin dia gak bahagia),
sampai ketika gua lulus SMA keadaan mulai berubah. Dia keliahatan jenuh, itu
semua karena gua selalu mengajak dia jalan ke tempat yang sama. Iya, jelas dia
bosen, pacaran dua tahun dan gua sangat tidak kreatif. Gua adalah seorang yang
jarang bergaul, introvert, jarang sekali jalan-jalan keluar, gua adalah orang
yang nyaman melakukan hal-hal rutin, dan gua miskin. Gua gak punya duit untuk
ajak dia jalan-jalan ke tempat-tempat yang kadang ia sebutkan. Untuk beli kuota
dan jalan tiap minggu aja gua harus susah payah, berhemat, atau ngajar-ngajar
les privat yang uangnya gak banyak. Diluar itu kegiatan gua banyak, karena gua
juga anak himpunan dan UKM saat itu. Akhirnya waktu jarang, duit pun jarang.
Sampai suatu hari gua dapet kabar kalau
bokap gua, tulang punggung yang manfkahi gua dan sekeluarga, di PHK. Hanya sedikit
orang yang tahu ini saat itu, karena gua merasa enggan aja untuk cerita ke
sahabat-sahabat gua, bahkan ke dia. Gua sedih sebagai anak pertama tidak bisa
membantu, masih bergantung pada orang tua, dan bla bla bla lainnya. Sampai akhirnya
muncul di kepala gua satu pemikiran bahwa biaya kuliah gua ini mahal banget,
dan gua harus cabut. Singkat cerita gua beneran cabut dari kampus, membuat
surat pengunduran diri dan segala macem, bahkan gua juga sengaja berhenti dapet
uang saku. Tapi dia masih belum tau soal itu, gua masih bersikap biasa-biasa
aja, ajak dia nonton, ajak dia makan, chattingan segala macem. Sampai uang tabungan
gua mulai habis, dan dia kalau ajak jalan selalu minta ke mall-mall semacamnya,
meskipun kadang ia pakai duit sendiri, tapi uang gua harus gua hemat untuk beli
bensin besok, untuk beli pulsa besok. Kebetulan, ketika gua berhenti kuliah itu
nyokap akhirnya jualan kripik-kripikan, dan gua yang pergi-pergi nganterin
kripik itu untuk dijualin sepupu, saudara, atau pakde dan bude gua. Gua pun
makin tidak bisa memberikan dia apapun, bahkan diri gua, karena gua malu.
Tiba lah di satu titik, ketika gua
merasa bahwa keadaan gua saat itu terlalu payah buat dia dan dia tidak pantas menerima
gua yang seperti ini. Perlahan-lahan gua mundur dari kehidupan dia sampai
akhirnya kami selesai, dan ini adalah kesalahan gua. Seandainya dulu gua mau
cerita ke dia, seandainya gua bisa lebih terbuka, seandainya gua tidak perlu
merasa malu atau pun minder dengan dia, seandainya-seandainya-seadainya. Bagi gua,
dia itu sangat spesial, gua selalu mau kasih dia yang terbaik, melakukan apapun
buat dia, bahkkan dia gaboleh tau gimana perjuangan gua. Gua cuma mau dia
terima bahagianya aja, dalam benak gua saat itu sebagai anak ABG labil. Ternyata
gua salah, ternyata keterbukaan itu sangat penting.
Meninggalkan seseorang karena gua
masih terjebak dengan perasaan gua.
Tahun kemudian, aku jatuh cinta. Ia perempuan
sederhana, teman sahabatku. Setiap jalan ia yang menanggung ongkos kami berdua.
Aku masih sibuk mengantar kripik-kripik nyokap. Gua aja lah, jangan pake
aku. Shit. Tapi gua sudah mulai kuliah ditempat lain, yang lebih murah. Menyenangkan
bersama dia, dia adalah tipikal, sosok perempuan yang gua idamkan (sejujur-jujurnya,
mungkin tidak diketahui orang lain). Sayang, masa lalu gua terbuka, sahabatnya
adalah sahabat gua, salah satu temannya juga teman SMP gua, akhirnya ia dapati
siapa mantan gua itu --mungkin juga sebagian ceritanya. Rasanya ia minder, kadang
kala ia mengajak berbicara tentang mantan
itu, kadang kala memaksa, dan gua cerita. Kemudian terasa kalau ia coba
membandingkan, kisah kami dengan kisah gua dulu. gua gak apa-apa, dalam hati
pun gua berkeinginan untuk bisa lebih dari gua yang dulu.
Sayang seribu sayang, gua adalah
orang yang lambat dan tidak peka. Tiba-tiba saja, ia terasa semakin
membandingkan, bahkan katanya “Aku kan juga mau seistimewa dia dulu”. Dan itu
menyakitkan, untuk gua, orang yang baru sembuh. Semakin hari semakin terasa,
seolah ada banyak hal yang desak meminta pertanggung jawaban. Dia sudah gua ajak bicara sebeleumnya,
kemudian keadaan kembali seperti semula, namun tak lama kembali membanding-bandingkan
itu muncul lagi dan lagi. Gua rasa gua
malah membebani elu, kehadiran gua membuat elu membanding-bandingkan segala hal
yang elu punya, dan tiba-tiba dalam pikiran gua muncul satu buah opini kalau
seolah-olah gua ini cuma memanfaatkan elu aja, sampai elu menuntut demikian. Kemudian
ego pun muncul, gua harus pergi, gua pikir dengan gua pergi dia akan terbebas
dari asumsinya sendiri, dan dari menjadi sesuatu yang tidak baik bagi dia. Egois
banget gua pikir kepergian gua demi dia. Sekarang gua kalau mikir itu ngerasa
tolol juga ya. Kenapa gua gak ajak dia ketemu terus bilang, “Elu itu istimewa,
tidak kurang sedikitpun, bahkan lebih istimewa, karena gua punya elu saat ini.”
Ara
Untuk kamu yang ragu akan aku
Aku tidak bisa memberi bukti
Karena bukti hanya untuk orang angkuh
Mereka manusia yang menistakan
kebenaran
Untuk kamu yang merindu daku
Tolong tegar untuk meyakini
Bahkan roma yang pernah roboh
Tetap kekal akan keindahan
Malik Qilam
Serpong, 2 April 2017
Ah tolol banget ya gua. Hahaha.
Aduh semakin menunjukan ketololan
gua, hahaha.
Ah, memang hatiku yang tak mau memberi!
Ya sudah lah, daripada semakin
goblok. Gua tutup aja kali ya. Untuk satu cerita terakhir, gaperlu deh, dia
lagi bahagia-bahagianya sekarang. Gua gak mau cerita apa-apa, mungkin satu
puisi aja yang pernah gua tulis buat dia. Nih:
Hei Sati!
Kau berteriak pekik sati
Dalam lorong telinga yang begitu
menggema
Nyaring menusuk gendang yang rapuh
“Tiga tahun sudah kumenanti”
Begitulah sebuah pernyataan
Namun apalah arti itu bagiku
Kala cinta tumbuh di barat
Matamu jauh mencari ke utara
Saat cinta sudah berkarat
Dikau baru tumbuh mendamba
Lalu kau tuntut aku
Aku memang biadab
Tapi aku mengerti
Jika aku memilih bersembunyi
Maka cinta akan menyakiti
Malik Qilam
Serpong, 2 April 2017
Maaf kalian jadi tempat sampah
uneg-uneg gue. Maaf kalian para perempuan yang gua sakitin. Terima kasih kalian
menunjukan kesalahan, dan kegoblokan gua, ini semua jadi bahan intropeksi diri
gua. Semoga gua bisa berubah jadi lebih baik gila, lagi maksudnya. Sampai di
sini gua tutup dengan kesimpulan kalau gua emang bajingan. Jadi plis, jangan
deketin gua, seberapa bagus pun cerita orang tentang gua.
Keren cara mengisahkannya mas. Kebetulan saya gak sengaja baca postingan ini. Karena penasaran, saya juga udh bc yg lain dan lucu2 cerita masnya. Kalau boleh, dilanjutkan dong mas cerita yang poin k 2, yg tdk berani menyatakan perasaan. Saya jg pernah tb2 ditinggalin sama mantan, tp gak tau alasannya apa. Andai aja mantan sy suka nulis kyk masnya, hehe. Salam kenal ya.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hapus