Betein aja lagi.
Pernah ga sih kalian bete?
Iya bete?
Tau bete ga?
Itu lho burung paruh bengkok?
“BETET.”
Kenapa ya gua bahas bete hari ini?
Mungkin karena gua lagi bete. Bete karena di era yang semakin maju dan
masyarakat yang makin melek teknologi kayak gini, masih ada aja orang yang
males dan melemparkan tugas-tugasnya ke orang lain. Padahal kalo ada apa-apa
sekarang tinggal nyalahin laptop terus ketik atau utak-atik tanpa perlu keluar
rumah, tanpa perlu macet-macetan. Masih aja malas. Atau bete-bete karena
hal yang lain, seperti bete karena bete yang berkepanjangan akibat dari
kurangnya perhatian terhadap bete yang terbetekan secara tidak langsung. Atau
bete yang tanpa kita sadari membetekan kita dengan segala kebeteannya yang
kemudian menimbulkan rasa-rasa cemas bete berkepanjangan yang pada akhirnya
memunculkan bete yang membetekan dengan segala kebeteannya yang terpadu dengan
terbetekannya perasaan bete yang bete.
“Lu kenapa Qil?” ujar teman gua dari
jauh.
“Kenapa kenapa No? (Kenapa
kenapanya kenapa No? kenapanya kenapa kenapa No? No Kenapa kenapa? Coba
jelaskan No!)”
“Ko Diem aje lu.” Sekarang dia udah
disamping gua, sulap kan.
“Ooh gapapa No, cuma lagi bete aja
kali ya.”
“Bete kenapa tuh?”
“Kenapa ya??????????? Gatau gua juga,
wkwkwk.”
“Et.”
Diatas
adalah sedikit gambaran bagaimana sebuah kebetean bisa menimbulkan suatu
kecurigaan. Hal itu terjadi suatu hari, ketika gua sedang jeda perkuliahan di
kampus –masasih. Gua sedang memikirkan sesuatu yang menyebabkan gua bete
seharian, lalu teman gua yang mungkin dari tadi memperhatikan sudah mulai
khawatir. “Salah-salah nanti lu histeris sendiri.” Begitu kata dia. Lalu gua
bilang ke Dino, kalo gua berniat untuk menceritakan kebetean gua ke dia.
Oh ya BTW by the way busway perkenalkan
ini teman kuliah gua Dino Margono nama panjangnya, dia adalah seorang anak
bertubuh tinggi besar dengan janggut lebat, memiliki cabang dengan dedaunan
rimbun dan buahnya dipanen tiap bulan juni sampai agustus. “Kok gua berasa
temenan sama pohon ya?” Dia ini sangat hobi membaca, terutama mengenai
sastra-sastra lama. Pegangan kuliah dia setiap hari aja pake tangan –masasih,
bambang. Buku pegangan dia adalah buku-buku sejarah sastra, mulai dari
sastra melayu, sastra modern, sastra Indonesia, sampai teh botol sastra, eh
sostro. Pernah beberapa kali gua kerumahnya dan mendapat saran untuk
membaca beberapa sastra andalan dia, seperti Presiden, Student Hidjo,
Langit Makin Mendung, dan Tuhan Maha Asyik. Yang terakhir emang agak nyentrik,
tapi tuhan gua lebih saik dudes.
Dirumah Dino, dia punya beberapa
saudara kantung. eh maaf maksudnya kandung,udah macam teh celup aja
dia anak kantung. Keluarganya terdiri dari
banyak anggota dengan urutan dari termuda Dino, Doni, Dini, Dani, Dana,
Danu, Deni, dan Dono yang tertua, serta ibunya Dina, dan bapaknya Zaenudin.
Pertama kali gua datang, gua pikir mereka keuarga “D”. maksudnya satu keluarga
berinisial “D”, namun ternyata rusak karena bapaknya yang anti-mainstream.
Hahaha.
Mengetahui hal tersebut membuat gua
tidak mampu menahan diri untuk tidak tertawa, kalian paham ga tuh? Haha. Lanjut,
gua mencoba untuk menanyakan nama panjang dari seluruh keluarganya. Dia pun
bersedia untuk menyebutkannya.
1. Dino Margono
2. Doni Margino
3. Dini Margini
4. Dani Margana
5. Danang Marga
6. Danu Marguna
7. Deni Margeni
8.
Dina hariyanti
9. Zaenudin MARGINAL
Ampuuun, gak ngerti gua. Ternyata dilihat dari nama panjang
semuanya, nama ibu yang berbeda sendiri. Sedangkan bapaknya, punya nama yang
nyeleneh. Ampun gua ngakak. Dino yang menceritakan pun
tertawa keras. Dia bilang pada awalnya dia merasa bete setiap ada orang yang
ketawa mendengar nama keluarganya, namun jika dia pikir-pikir memang sangat
lucu nama keluarga mereka. Bahkan dia bilang kalo ada undangan di kampung,
dalam surat undangannya tertulis “Keluarga Marginal”, wkwkwk amboi indak-kuku Ambo.
BUT,
ngomong-omong soal BETE, gua kan mau
cerita kebetean gua disini. Onde mande Marginal.
Malik
Qilam
Serpong, 4
April 2017.
Komentar
Posting Komentar